Powered By Blogger

Senin, 29 November 2010

”Landasan Pembangunan Serikat Buruh Nasional Yang Militan”

1.      Situasi Ekonomi-Politik Yang Makin Menyengsarakan Kaum Buruh dan Rakyat Miskin Indonesia

Pada tanggal 20 oktober 2009 ini, SBY-Boediono sebagai pemenang dalam pemilu elit 2009 lalu, akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, di mana bebarapa waktu sebelumnya, anggota-anggota DPR/MPR yang di isi oleh 9 partai politik (Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura) juga telah dilantik, maka sah lah Rezim Kapitalis kembali berkuasa.

Kecuali Gerindra dan Hanura, semua partai yang ada di DPR saat ini merupakan partai yang pernah berkuasa pada 5 tahun, bahkan 10 tahun belakangan ini, dan selama mereka berkuasa, prestasi mereka yang bisa kita rasakan adalah semakin berlanjut kemiskinan massal, semakin bertambah angka PHK massal, semakin bertambah pengganguran, semakin bertambah kematian anak-anak dan ibu, semakin bertambah anak putus sekolah, semakin mahal pupuk, bibit dan obat-obatan anti hama.

Memang agak sulit untuk menemukan angka-angka yang pasti soal semakin meningkatkanya kemiskinan rakyat ini, namun setidak-tidaknya, dari apa yang kita rasakan sehari-hari, tidak ada keraguan sedikitpun di pikiran kita, bahwa kita memang makin miskin.

Namun penting juga untuk kita munculkan angka-angka ini : lebih dari 50 % rakyat Indonesia yang berpendapatan $ 2/hari [1]( sekitar Rp 20.000 per hari), standar kemiskinan yang di pakai untuk Negara-negara berkembang, artinya lebih dari 100 juta rakyat Indonesia yang miskin. Jumlah Pemutusan Hubungan Kerja, menurut APINDO sampai dengan bulan maret 2009 saja, telah mencapai 240.000 buruh[2] (sementara menurut Depnakertrans, sampai dengan april 2009, angka PHK hanya 44.220[3]). Untuk biaya pendidikan secara umum terjadi kenaikan sampai di atas 200 % [4], demikian juga dengan kenaikan biaya kesehatan, yang naik cukup tinggi.[5]

Sementara untuk upah di tahun 2009, sekalipun ada kenaikan angka nominal, namun untuk upah real, mengalami penurunan (dibanding tahun sebelumnya) sebesar 4, 93 %, bahkan menurut FSPMI, upah real buruh di DKI tahun 2009, hanyalah sebesar Rp 700 000 (padahal upah nominalnya sebesar Rp 1.069.000), dan jika dibandingkan dengan upah nominal tahun 2004 sebesar Rp 671.700, masih lebih baik upah real tahun 2004.[6]

Dan cilakanya lagi, penggunaan system kerja kontrak dan outsurching, juga makin merajalela, yang oleh APINDO dianggap sebagai trend dunia usaha sekarang ini.

Semuanya ini bisa terjadi karena hingga hari, garis ekonomi-politik yang dijalankan (dan akan dilanjutkan lagi) oleh Rezim yang berkuasa adalah garis ekonomi-politik kapitalisme /neoliberlisme, dengan pokok-pokok kebijakan[7]:
1.       KEKUASAAN PASAR. Membebaskan usaha "bebas" atau usaha swasta dari ikatan apa pun yang diterapkan oleh pemerintah (negara) tak peduli seberapa besar kerusakan sosial yang diakibatkannya. Keterbukaan yang lebih besar bagi perdagangan internasional dan investasi, seperti NAFTA. Menurunkan upah dengan cara melucuti buruh dari serikat buruhnya dan menghapuskan hak-hak buruh yang telah dimenangkan dalam perjuangan bertahun-tahun di masa lalu. Tidak ada lagi kontrol harga. Secara keseluruhan, kebebasan total bagi pergerakan kapital, barang dan jasa. Untuk meyakinkan kita bahwa semua ini baik untuk kita, mereka mengatakan bahwa "pasar yang tak diregulasi adalah cara terbaik meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya akan menguntungkan semua orang." Itu seperti ekonomi "sisi persediaan" (supply-side) dan "tetesan ke bawah" (trickle-down) yang dijalankan Reagan -- tapi kekayaannya sedemikian rupa tidak banyak menetes.
2.       MEMANGKAS PEMBELANJAAN PUBLIK UNTUK LAYANAN SOSIAL seperti pendidikan dan layanan kesehatan. MENGURANGI JARINGAN-PENGAMANAN BAGI KAUM MISKIN, dan bahkan biaya perawatan jalanan, jembatan, persediaan air -- lagi-lagi atas nama mengurangi peran pemerintah. Tentunya, mereka tidak menentang subsidi dan keuntungan pajak bagi bisnis besar.
3.       DEREGULASI. Mengurangi regulasi pemerintah terhadap segala hal yang dapat menekan profit, termasuk perlindungan lingkungan hidup dan keamanan tempat kerja.
4.        PRIVATISASI. Menjual perusahaan-perusahaan, barang-barang, dan jasa milik negara kepada investor swasta. Ini termasuk bank, industri kunci, perkereta-apian, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Walau biasanya dilakukan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang sering dibutuhkan, privatisasi terutama berdampak pada pengonsentrasian kekayaan kepada pihak yang jumlahnya semakin sedikit dan menjadikan khalayak umum harus membayar lebih untuk kebutuhannya.
5.       MENGHAPUS KONSEP "BARANG PUBLIK" atau "KOMUNITAS" dan menggantikannya dengan "tanggung-jawab individu." Menekan rakyat yang termiskin dalam masyarakat untuk mencari solusi sendiri terhadap minimnya layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan sosial mereka -- kemudian menyalahkan mereka, bila gagal, karena "malas/bodoh."
Dan memang begitulah kebijakan Rezim SBY-JK maupun SBY-Boedino kedepan ini :
1.       Privatisasi BUMN dan penjualan Aset-aset strategis kepada kaum pemodal (Sampai Bulan mei 2009 Ada Sekitar 30 BUMN yang siap di Jual)
2.       Free Labor Market Flexibility maka semakin jelas bahwa ada pembatasan kesahteraan kaum buruh lewat system pengupahan dengan model teritorial dan sektoral (UMP, UMK, UMS) yang tidak boleh lebih dari standar minimum Hidup layak versi World Bank 2 USD/ Hari (jadi rata-rata se Indonesia Upah/ Gaji Bulanan Kaum Buruh tidak lebih dari Rp 1.000.000/Bln)
3.       Kebijakan upah murah tetap akan dijalankan, untuk tahun 2010 nanti, dari yang sudah ditetapkan oleh pemda/pemkot masing-masing, rata-rata kenaikan upah hanya 6 %, bahkan ada yang naik hanya Rp 12.500, dan khusus untuk Batam, APINDO Batam meminta kenaikan upah 2010 lebih kecil dari kenaikan upah 2009.
4.       Pencabutan Subsidi Subsidi Untuk Rakyat (Tarif dasar Listrik akan naik 20 % Pada awal tahun 2010, Harga BBM yang secara bertahap sudah disesuaikan dengan mekanisme pasar, Subsidi pupuk pada tahun 2010 sebesar 11 trillyun yang seharusnya untuk petani justru dalam prakteknya malah diberikan pada corporate farming alias perusahaan pertanian yang beroperasi di Indonesia)
5.       Disahkan UU BHP – Demi World Class University serta mengubahnya menjadi ladang bisnis yang menguntungkan proyek-proyek investasi didalam kampus /sekolahan, sehingga menghilangkan visi pendidikan nasional sebagai kewajiban negara dan hak rakyat secara gratis sehingga mampu menciptakan kemajuan tenaga produktif dan kebudayaan rakyat Indonesia
6.       Disahkanya beberapa UU pro pasar bebas yang sudah lama di design oleh kaum pemodal ternyata sudah disahkan nyaris tanpa kontrol dari rakyat, UU Kelistrikan, UU Migas, UU HP3, UU Kehutanan, UU Pajak, UU Kawasan Ekonomi Khusus, Perpu Pembebasan Lahan dll tentu saja memiliki semangat yang anti kemakmuran dan kesehjateraan bersama.
7.       Disahkanya mega proyek infrastruktur hingga peresmian perusahaan pertanian berskala besar untuk melakukan kegiatan bisnisnya ditambah lagi dengan mulai beroperasinya Rice Estate dari jepang dan Korea selatan di pedesaan justru akan semakin memperburuk keadaan sebagian besar petani gurem dan buruh tani di Indonesia. di Jawa saja terdapat 12,5 juta RMT (Rumah Tangga Petani) atau sekitar 50 juta jiwa. Dari jumlah itu, 49% nya tidak memiliki lahan sama sekali. Sementara di luar Jawa, ada sekitar 8 juta jiwa petani yang tidak memiliki lahan. Sedangkan bagi mereka yang memiliki lahan, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi ada sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia sesungguhnya adalah buruh tani dan ada 90 juta jiwa petani gurem.
8.       Disamping itu pemerintah masih enggan mengugat penguasaan 48 juta hektare lahan produktif termasuk hutan-hutan di Indonesia yang dikuasai 620 pengusaha yang memiliki Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).
9.       Tentu saja masih belum ada niatan politik dari rezim ini untuk menjalankan Pembaruan agraria sejati sesuai dengan mandat dan control Organisasi – organiasi rakyat.
10.   Persoalan stabilitas politik juga akan menjadi prioritas selama 5 tahun kedepan yang akan dijaga mati-matian oleh rezim SBY-Boediono, untuk menarik minat Investor namun disisi lain mengubur hak – hak demokratik, social dan politik massa rakyat.
11.   Keadaan di atas juga semakin diperparah dengan berbagai kerjasama ekonomi dan bisnis Internasional maupun regional hasil rekomendasi AFTA, FTZ, GATTS, AoA yang hanya menempatkan Indonesia sebagai penyedia bahan mentah, buruh murah, serta pasar yang potensial bagi komoditas Negara-negara yang turut menandatangani MoU dengan Indonesia, yang ini potensi mengancam buruh buruh di Indonesia untuk tetap melanjutkan pekerjaanya, singkat katannya adalah dengan banjir Produksi massal dari praktek perdagangan bebas itu, maka sekitar 20 juta buruh manufaktur di Indonesia akan semakin terancam pemutusan hubungan kerja.
12.   Dan lebih parahnya, semua partai politik yang ikut dalam pemilu 2009, tak ada satupun yang berdiri dalam barisan kaum buruh, barisan rakyat miskin dalam melawan kapitalisme/neoliberalisme, malahan sebagian besar secara terang-terangan menjadi pendukung kapitalisme, sedangkan Gerindra, yang di jaman kampanye pemilu 2009, seolah-oleh berani melawan kapitalisme /neoliberalisme, sudah kehilangan taringnya di ronde pertama, ketika pada bulan september lalu, DPR lama mengesahkan UU berbau neoliberal yakni UU KEK dan UU Kelistrikan, tak terlihat perlawanan yang dilakukan Gerindra.


2.      Serikat-Serikat Buruh Kuning Yang Terus Menghambat Kemajuan Perlawanan Kaum Buruh
Sudah sering kawan-kawan semua mendengar istilah serikat buruh kuning, yaitu serikat buruh yang di identifikasikan sebagai serikat buruh yang cenderung membela kepentingan pengusaha dan atau pemerintah, baik karena serikat-serikat ini bentukan pengusaha dan atau pemerintah, maupun serikat-serikat yang dibentuk sendiri oleh buruh namun pimpinan-piminannya bisa disogok atau bisa ditakut-takuti.
Saat ini di Indenesia serikat buruh kuning sangat besar, dengan keanggotaan yang sangat banyak dan tersebar merata di seluruh Indonesia.
Bermula dari penghancurkan kekekuatan rakyat termasuk kekuatan buruh di tahun 1965, maka kaum buruh Indonesia memasuki babak baru, babak depolitisasi kaum buruh, yang dipertegas melalui seminar oleh Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) atas dukungan FES (Friedrich Ebert Stiftung—Lembaga ini dibentuk oleh Partai Demokrat Sosial di Jerman), pada tanggal 21-28 oktober 1971, yang menghasilkan :
  1. Gerakan buruh harus sama sekali lepas dari kekuatan politik manapun
  2. Di bidang keuangan tidak boleh tergantung pada sumber dana di luar organisasi, intensifikasi pemungutan iuran harus dilakukan berdasarkan sistem pemeriksaan keuangan.
  3. Kegiatan serikat buruh dititik beratkan di bidang sosial ekonomi
  4. Serikat-serikat buruh yang ada harus ditata ulang kembali dan dipersatukan melalui pendekatan-pendekatan satu sama lain
  5. Struktur gerakan buruh Indonesia harus dirombak. Setiap lapangan pekerjaan hanya ada satu organisasi buruh, yakni serikat buruh lapangan pekerjaan (SBLP)

Hasilnya pada 20 Februari 1973, lahirlah Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), yang dipimpin oleh Agus Sudono ( sebelumnya adalah Ketua GASBIINDO, Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia) dan Sedang Soewarto (mantan Opsus) sebagai Sekretaris Umum nya, yang pada 11 maret 1974, FSBI dinyatakan sebagai serikat buruh tunggal oleh Dirjen Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja

Kemudian di ikuti oleh keluarnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Koperasi No.Per./01/Men/1975 Tentang Pendaftaran Serikat Buruh, yang menegaskan bahwa organisasi buruh yang dapat mendaftar di Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi ialah Organisasi Buruh yang Berbentuk Gabungan Serikat Buruh yang mempunyai pengurus sekurang-kurangnya di 20 Daerah Tingkat I dan mempunyai anggota sekurang-kurangnya 15 Serikat Buruh. Peraturan baru ini membuat orang tidak dapat secara mudah mendaftarkan organisasi buruh seperti terjadi di masa sebelumnya.

Pada tanggal 4-7 Desember 1974 diadakan Seminar Nasional tentang Hubungan Perburuhan Pancasila yang menelorkan konsep "hubungan antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (buruh, pengusaha dan pemerintah), didasarkan atas nilai yang merupakan manifestasi keseluruhan sila Pancasila dan UUD'45, serta berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. 3 Prinsip dasar atau Tridharma yang mendasari Hubungan Perburuhan Pancasila[8] yaitu:
  1. Prinsip rumongso handarbeni yaitu prinsip merasa ikut memiliki (partner in profit and partner in production).
  2. Prinsip melu harungkebi yaitu prinsip ikut mempertahankan dan memajukan (partner in responsibility).
  3. Prinsip mulat sarira hangroso wani yaitu prinsip keberanian untuk mawas diri (awareness).

Pada tahun 1985 FBSI diubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan HPP pun diubah menjadi Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Kata 'buruh' diperhalus dan diubah menjadi 'pekerja' atau 'karyawan.' Kementrian Perburuhan menjadi Menteri Tenaga Kerja (Menaker).

Agar terlihat ada keberagaman sejak 1990an di dalam SPSI dibentuk Serikat Pekerja Sektor maksudnya akan menuju sistem industrial unionism. Ada 13 sektor yaitu: Sektor Pekerjaan Umum dan Bangunan (PUB); Sektor Perkayuan dan Kehutanan (PK); Sektor Niaga, Bank, dan Asuransi (NIBA); Percetakan dan Penerbitan (Perpen); Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (RTMN); Pariwisata (PAR); Kimia, Energi, dan Pertambangan (KEP); Logam, Elektronik, dan Mesin (LEM); Tekstil, Sandang, dan Kulit (TSK); Transportasi (TRANS); Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI); Pertanian dan Perkebunan (PP); Farmasi dan Kesehatan (FARKES). Kemudian Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)-yang pada mulanya ikut membentuk FBSI-didaftarkan sebagai Serikat Pekerja di luar SPSI.
Dengan demikian, kaum buruh Indonesia akhirnya dapat sepenuhnya di kontrol oleh Rezim Orde Baru[9], agar kekuasaan kapitalis dapat dengan mudah mengkumulasikan kekayaan pada diri mereka sendiri dan Birokrat pendukungnya.
Namun gerakan rakyat tak bisa selamanya di bendung, tak bisa selamanya dibungkam, sedikit demi sedikit bermunculah perlawanan-perlawanan rakyat, yang mula-mula spontan menuntut hak-hak kesejahteraan ekonomi-politik, meningkat menjadi perlawanan sadar, perlawanan untuk menumbangkan sistem Orde Baru, termasuk di antaranya adalah PPBI, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia.[10]
PPBI adalah serikat buruh Independen yang didirikan di Ambarawa, Jawa
Tengah pada tanggal 23 Oktober l994. Program paling pokok dari PPBI adalah;
Upah minimum Nasional Rp. 7000; Stop Campur Tangan Militer dan Kebebasan
Berserikat. PPBI terlibat aktif dalam memimpin aski-aksi masa buruh di
Jabotabek, Solo, Semarnang, Surabaya dan Medan. PPBI juga aktif dalam pendidikan-pendikan perburuhan diberbagai kota. Dalam aktivitas perlawannnya PPBI juga memberikan kesadaran politik kepada kaum buruh untuk  terlibat secara aktif dalam perjuangan demokrasi(sebab tanpa demokrasi, perjuangan kaum buruh dan rakyat untuk mendapatkan kesejahteraannya akan lebih sulit). Dan untuk mempertegas komitmen perjuangan politiknya, pada Kongres II PPBI di Yogyakarta, PPBI berafiliasi secara organisasi dan politik dengan Partai Rakyat Demokratik. Buruh-buruh PPBI juga terlibat aktif dalam aksi-aksi mendukung Megawati di Jakarta, Solo, Semarang, Medan dan Surabaya. PPBI juga pendiri dan anggota dari Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Maubere/Rakyat Timor Leste (SPRIM).[11]
Saat itu, Cabang-Cabang PPBI yang sudah berdiri meliputi; Jakarta Utara, Jakarta Timur, Bogor, Tanggerang, Semarang, Solo, Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoardjo,
Surabaya, Bangkalan dan Lamongan, Medan. [12]
Untuk propaganda PPBI menerbitkan Buruh Bergerak, Derap Perjuangan dan Workers banner (Bahasa Inggris) serta berbagai pamflet pendidikan perburuhan.[13]
Tentu saja upaya PPBI—dan organisasi perlawanan lainnya—untuk memperjuangan demokrasi dan kesejahteraan ini, bukan perjuangan yang mudah, apalagi Rezim Orde Baru, mengedapankan cara-cara militeristik dalam membungkam setiap perlawanan rakyat yang muncul, sehingga dalam perjalanannya, aktivis-aktivis PPBI—juga aktivis perlawanan lainnya-- banyak yang dipenjara, dipukulin, disiksa, bahkan ada yang diculik dan dibunuh.
Namun sejarah terus begerak maju, Rezim Otoriter Orde Baru akhirnya mengakui kekuatan gerakan massa, dengan mundurnya Suharto di tahun 1998, dan angin perubahanpun berhembus kemana, termasuk ke kalangan serikat-serikat buruh.
SPSI yang awalnya adalah wadah tunggal –sebagai upaya Rezim Orde Baru untuk mengontrol kaum buruh--pun mengalami arus pasang reformasi, dengan berdirinya SPSI Reformasi, yang kemudian membelah lagi menjadi SPN (Serikat Pekerja Nasional)—yang sebelumnya adalah FSPTSK (Federasi Serikat Pekerja Textil, Sandang dan Kulit), SPMI (Serikat Pekerja Metal Indonesia) dan banyak serikat-serikat pekerja lainnya. Perpecahan-perpecahan ini umumnya terjadi di masa-masa awal reformasi, dimana ada semangat agar serikat buruh/serikat pekerja lebih Independen baik dengan pemerintah maupun pengusaha. Semangat reformasi dari arus bawah (secara umum, semangat reformasi terjadi dimana-mana) inilah yang kemudian dimanfaatkan—dimanipulasi-- oleh sebagian pimpinan SPSI yang tidak puas terhadap pimpinan SPSI lainnya untuk melakukan pembelahan ditubuh SPSI (sekalipun pimpinan-pimpinan SPSI yang melakukan pembelahan ini, juga tidak banyak melakukan apa-apa ketika mereka masih di SPSI)
Serikat Pekerja Nasional (SPN) dan Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) adalah dua serikat pecahan SPSI yang paling cepat melakukan konsolidasi, sekaligus paling cepat melakukan perluasan keanggotaannya, juga yang paling cepat muncul kepanggung politik buruh ditingkat nasional. Hal ini tentu saja bisa terjadi, karena struktur SPN dan SPMI sebelumnya adalah struktur SPSI yang menyebar luas di seluruh Indonesia, dan juga karena posisi politik pimpinan-pimpinannya yang cenderung kompromis, sehingga tidak terlalu banyak mendapatkan tekanan dari pemerintah maupun pengusaha, bahkan dibanyak tempat, dalam kasus-kasus tertentu posisi serikat ini cenderung membela kepentingan pemerintah maupun pengusaha, pun demikian dalam momentum-momentum tertentu, SPN maupun SPMI juga bisa kelihatan “militan” memperjuangan kepentingan kaum buruh (walaupun selalu berkahir dengan kompromis, missal dalam penolakan revisi UU 13/2006, sebenarnya dari kekuatan massa yang terlibat dan luasnya daerah perlawanan buruh, tuntutan ini bisa dimajukan menjadi pencabutan UU 13/2003, namun pimpinan-pimpinan serikat kuning, membatasi hanya pada penolakan revisi UU 13/2003)
Dalam beberapa hal, pimpinaan-pimpinannya lebih lihai dari pimpinan serikat buruh status quo (SPSI), mereka memanipulasi cara-cara / metode serikat buruh atau organisasi progresif lainnya dalam praktek politik dan organisasi :  menggunakan mobilisasi massa (aksi massa, rapat akbar, pawai), seperti ketika terjadi aksi-aksi massa menolak revisi UU 13/2003, SPN sanggup memobilisasi 100 ribu anggotannya di Jakarta dan dua tahun belakangan ini, di momentum May Day, SPMI sanggup membuat Rapat Akbar yang dikemas dalam May Day Fiesta dengan menghadirkan puluhan ribu anggotanya di Istora Bung Karno Jakarta– tentu saja tujuannya sekedar untuk menaikan bargain kepentingan pimpinannya baik terhadap pengusaha maupun pemerintah dengan menjual massanya—Mereka juga lebih ahli dalam menggunakan strategi atas untuk mempopulerkan program –moderat-- dan figur-figur pimpinannya, termasuk mempunyai terbitan (Koran) regular untuk menghegemoni kesadaran massanya/anggotanya—paling tidak koran Perjoengan terbitan SPMI cukup reguler dengan oplah yang cukup banyak—
“Kemajuan” SPN maupun SPMI, sebenarnya tak bisa juga di lepaskan dari penetrasi PKS[14] ke dalam dua serikat buruh ini, yang tentu saja membawa penguruh konsolidasi organisasi yang lebih rapi, lebih tertata, termasuk dalam hal metode aksi massa nya—misal metode aksi serentak atau metode aksi terpusat di satu titik—bahkan untuk SPMI, kesolidan organisasinya diperkuat dengan pembangunan Garda Metal (kalo di PKS, namanya adalah Pandu Keadilan) semacam struktur organisasi yang menjadi tulang punggung organisasi dalam menyikapi berbagai hal yang butuh kecepatan dan kesolidan, sehingga dibutuhkan pelatihan khusus untuk anggota Garda Metal.[15]
Walaupun secara politik organisasi, SPN dan SPMI bisa dikatakan sudah berada dalam pengaruh PKS[16], tapi dalam hal konsolidasi dua serikat ini menjadi satu kesatuan gerak dalam menghegomi kaum buruh Indonesia masih mengalami kendala, karena sebagai dua kekuatan paling berpengaruh di KSPI (salah satu Konfederasi Buruh di Indonesia), seharusnya bisa meluaskan KSPI, namun yang terjadi justru sebaliknya, SPN malah keluar dari KSPI, setelah sebelumnya kalah dalam perebutan kursi Presiden KSPI (yang dimenangkan oleh SPMI)
Walau demikian, SPSI yang sudah terpecah kedalam berbagai serikat buruh, tidak lantas mati. Dengan strukturnya yang sangat luas—karena hanya SPSI lah yang diakui sebagai serikat pekerja di jaman Orde Baru—SPSI masih bertahan hingga kini, bahkan ditengah-tengah munculnya berbagai organisasi buruh, SPSI masih mampu mendapatkan anggota baru terutama di daerah atau kawasan Industri yang dinamika perlawanan buruhnya kecil. Dan dalam momentum-momentum tertentu, SPSI bisa terlihat sama kepentingannya dengan serikat-serikat Independen, bahkan dengan kemampuan mobilisasinya yang besar, SPSI masih sanggup mengisi panggung politik buruh baik di nasional maupun di daerah.
Struktur SPSI, SPN dan SPMI juga mendominasi institusi-isntitusi legal yang punya otoritas merumuskan dan menetapkan kebijakan atau peraturan yang berkaitan dengan buruh (upah, standar kesejahteraan, dll) yang disediakan oleh rezim : Tri Partit Nasional, Dewan Pengupahan Nasional dan Daerah, Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial (pengadilan sengketa perkara perburuhan), Komisaris PT JAMSOSTEK[17] sebuah jabatan yang bisa memuluskan mengalirnya dana Jamsostek[18] (Catatan: Dana yang dikelola oleh PT Jamsostek sampai dengan kuartal I/2009 mencapai 74 Trilyun Rupiah[19]) ke pimpinan-pimpinan serikat buruh atas nama buruh, termasuk menjadi perwakilan buruh Indonesia di Lembaga Perburuhan Internasional seperti ILO dan lain sebagainya, dimana keberadaan mereka di lembaga-lembaga ini bukan dalam kepentingan memperjuangan secara sungguh-sungguh kepentingan kaum buruh, namun sekedar untuk menaikan bargain pimpinan-pimpinan serikat ini, entah sebagai batu loncatan untuk karir yang lebih tinggi, entah untuk mendapatkan penghasilan tambahan dan motif-motif individu lainnya
Di momentum tertentu, perbedaan kepentingan antara massa buruh dan pimpinanan serikat buruh kuning ini jelas sekali terlihat, misal dalam hal penentuan UMP, selalu saja ada perbedaan antara apa yang ditetapkan oleh Dewan Pengupahan Daerah dan massa buruh di wilayah tersebut, bahkan sering kali terjadi kaum buruh dari serikatnya sendiri melakukan demonstrasi-demonstrasi yang radikal setelah Dewan Pengupahan Daerah mengeluarkan keputusannya

Artinya, baik SPSI maupun Serikat-Serikat Pecahannya, watak dan karakter politiknya tidak jauh berbeda dibandingkan jaman Suharto, yakni sebagai serikat buruh yang hanya dimanfaatkan oleh pimpinan-pimpinannya untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Memang ada “perubahan” yang seolah-olah menunjukan perbedaan, misalnya pendidikan yang makin merata (paling tidak buat pengurus, walaupun materi pendidikan tidak terlalu berbeda dengan pendidikan jaman Orde Baru dengan beberapa perbaikan), transparansi iuran anggota (misal di SPMI, iuran anggota yang masuk ke pimpinan pusat, di audit oleh audit independen dan di laporkan ke anggota), atau dalam hal metode perlawanan, aksi-aksi massapun mulai kerap digunakan, namun sejauh perspektif politik, bukanlah untuk kepentingan kaum buruh, maka semua itu hanyalah kamuflase dari kepentingan pimpinan-pimpinanya saja.

Itulah sebabnya, dalam berbagai pertarungan kaum buruh melawan pengusaha dan atau pemerintah, kaum buruh Indonesia mengalami kekalahan telak, yang paling telak adalah disahkannya UU Ketenagakerjaan pada tahun 2003 [20](UU/13/2003) lalu UU Peradilan Hubungan Industrial (UU 2/2004), lalu yang baru saja di sahkan di bulan september lalu adalah UU Kawasan Ekonomi Khusus, dimana sebuah kawasan industri tertentu dapat menerapkan aturan tersendiri demi kepentingan investor.

Masih banyak UU atau peraturan lain, yang juga merugikan kaum buruh—namun belum dianggap sebagai kepentingan kaum buruh—misalnya UU BHP, UU Penanaman Modal, UU Privatisasi Air, UU Kelistrikan, UU BUMN dan lain sebagainya, dimana gerakan buruh tidak mampu menunjukan taringnya, sekali karena kaum buruh masih dihegemoni oleh serikat-serikat kuning.

Di tingkat perusahaanpun, banyak sekali kejadian di mana pimpinan-pimpinan PUK Serikat Kuning bermain mata dengan managemen, untuk menggolkan kepentingan-kepentingan perusahaan yang merugikan kaum buruh, mulai dari PKB, Perundingan Upah, Penanganan kasus-kasus, hingga korupsi uang iuran maupun uang koperasi buruh.

3.      Masih Tercerai Berainya Kekuatan Kaum Buruh Yang Progressif

Memang tidak semua serikat buruh yang ada adalah serikat kuning, beberapa serikat buruh, mulai menunjukan karakternya sebagai sebagai serikat buruh independent, bahkan beberapa diantaranya menunjukan karakter politik yang lebih maju dari sekedar serikat buruh independent.

Sebut saja Kongres Serikat Buruh Indonesia (KASBI), yang sekarang ini mempunyai anggota sekitar 120.000 an orang yang tersebar di berbagi kota di Indonesia, telah menunjukan karakternya sebagai serikat buruh yang lebih maju dari sekedar serikat buruh independent, terutama dalam perspektif politik, yang tidak hanya memperjuangkan kepentingan buruh di tingkat pabrik, namun kepentingan buruh secara umum.

Demikian juga dengan Federasi Perjuangan Buruh Jabotabek (FPBJ),[21] yang bahkan untuk beberapa momentum politik, mempelopori pembangunan persatuan gerakan, seperti ketika momentum menjelang pemilu, maupun respon terhadap pelantikan SBY-Boediono baru-baru ini.

Masih ada juga Serikat Buruh Transportasi Indonesia (SBTPI), yang juga sangat aktif terlibat dalam agenda-agenda perjuangan kaum buruh, dan selama bebarapa bulan terkahir ini, mampu membuat pendidikan regular bagi calon-calon kadernya.

Mungkin masih banyak serikat-serikat buruh, yang punya karakter maju, dan lebih banyak lagi serikat-serikat Independen, yang memang belum menunjukan karakter politik yang maju, namun bukan merupakan serikat buruh kuning.

Dalam perjalananya, ketika serikat-serikat buruh maju ini berhasil menyatukan pandangan, dan berhasil membangun komitmen bersama, sebuah persatuan yang maju dan meluas berhasil dibentuk, yakni Aliansi Buruh Menggugat, yang bukan saja keanggotaanya terdiri dari serikat-serikat maju, namun dengan pengaruh dari serikat-serikat maju ini, ABM bisa muncul sebagai persatuan gerakan buruh maju, dan diawal-awal bedirinya dengan cepat meluaskan diri ke berbagai propinsi maupun kota di Indonesia, dan secara politik, keberadaan ABM mampu menandingi pengaruh politik serikat-serikat kuning, seperti misalnya kampanye standarisasi upah layak nasional, yang cepat meluas, bahkan inipun akhirnya diadopsi oleh serikat-serikat kuning. Dalam beberapa momentum seperti momentum may day, ABM sangat diperhitungkan, bahkan oleh media massa-media massa utama, menjadi liputan utama.

Ditingkat pabrikpun, serikat-serikat buruh yang menjadi anggota ABM juga semakin diperhitungkan dalam perundingan-perundingan untuk kasus-kasus di tempat kerja, bahkan beberapa diantaranya mendapatkan kemenangan-kemenangan yang siginifikan dari kasus-kasus nya.

Demikian juga di kalangan gerakan perlawanan secara umum, ABM dianggap sebagai kekuatan politik yang bisa memberikan kemajuan gerakan perlawanan rakyat, sehingga tidak terlalu sulit bagi ABM untuk mengkonsolidasikan gerakan perlawanan rakyat dalam meresepon perkembangan situasi, seperti misalnya ketika terjadi kenaikan harga BBM pada bulan juni 2008, ABM berhasil mengkonsolidasikan organ-organ perlawanan menjadi satu aliansi, satu persatuan, Front Pembebasan Nasional (FPN), yang tidak hanya di Jakarta saja, melainkan dengan cepat terbentuk di berbagai propinsi maupun kota di Indonesia.

FPN bukan saja menunjukan kapasitas kehendak persatuan rakyat, namun juga secara programatik, memberikan batas yang tegas antara kekuatan politik kaum buruh,rakyat miskin dengan kekuatan politik penindasnya, sekaligus memberikan jalan keluar dari semakin miskinya rakyat Indonesia dibawah cengkraman neoliberalisme. Tak aneh, jika kemudian FPN di beberapa kota mendapatkan serangan dari musuh-musuh rakyat, bahkan sampai serangan-serangan fisik. [22]

Sayangnya FPN tak bertahan lama, bahkan belum sempat FPN yang sudah berdiri diberbagai kota ini, dikonsolidasikan dalam sebuah pertemuan nasional. FPN akhirnya mencair, dan hillang.

Tentu banyak factor yang menyebabkan ABM dan Organ-organ perlawanan rakyat lainnya gagal mengkonsolidasikan FPN menjadi sebuah alat persatuan perlawanan rakyat, namun sebab-sebab mendasarnya adalah:
  1. Perspektif politik persatuan yang masih menggangap persatuan hanyalah taktik untuk merespon momentum tertentu, bukan sebagai strategi untuk merebut kekuasaan.
  2. Masih tersisa waktak sektarianisme, watak yang meninggikan diri sendiri, dan menganggap kelompok lain, tak penting dalam perlawanan rakyat (biasanya ukurannya adalah jumlah massa, sehingga kelompok-keompok yang jumlah massa nya kecil, sering sekali ide-idenya di dengar, walaupun mungkin saja ide nya benar), akibatnya tak rela jika dalam aliansi, kepemimpinan dipegang oleh kelompok yang kecil ini.
  3. Keliru dalam menilai potensi persatuan (menggangap belum bisa organ-organ perlawanan disatukan dalam sebuah front persatuan nasional)

Pasca FPN, bisa dikatakan tidak ada lagi front persatuan (walaupun dalam bentuk aliansi), yang cukup signifikan, bahkan ketika dunia “tiba-tiba” di kejutkan oleh krisis keuangan, yang juga berimbas ke Indonesia, front persatuan yang di gagas oleh ABM pun tak ada yang terbentuk, sekuat FPN.

Yang terjadi justru sebaliknya, ABM kemudian mengalami kemunduran cukup jauh, yang tadinya ABM adalah alat persatuan nasional yang digunakan untuk melawan berbagai kebijakan yang merugikan buruh, di beberapa kota mulai ditinggalkan, dan membentukan aliansi baru, dengan program dan nama yang beraneka ragam, termasuk dalam momentum May Day 2009, di mana hanya Jabotabek, Jawa Timur, Kalimantan Timur yang masih menggunakan ABM (itupun dengan isian politik yang tidak sama), sementara kota-kota lainnya, yang ada jaringan ABM, malah membentuk aliansi baru.

Situasi ini, makin menurun, hingga respon pemilu, dimana ada unsure ABM yang menggunakan ABM untuk memberikan dukungan terhadap salah satu capres tertentu, padahal secara mayoritas, anggota ABM berposisi menolak pemilu atau mendelegitimasi pemilu.

Puncaknya adalah aksi merespon pelantikan SBY-Boediono kemarin, di mana antara sebagaian unsur ABM dengan unsure ABM lainnya, tidak menajadi satu barisan massa aksi bersama, melainkan berada dalam barisan yang berbeda, dan dibanyak kota, ABM sama sekali tidak merespon pelantikan SBY-Boediono ini.

Tentu saja, ini bukan situasi yang mengembirakan buat kaum buruh Indonesia, ditengah himpitan masalah yang semakin besar, beban hidup yang semakin berat, kekuatan buruh maju, justru sedang tercerai berai, sehingga tidak ada pilihan lain, selain kembali berusaha membangun persatuan yang lebih kokoh, sekalipun itu bukan pekerjaan mudah.

Pembangunan serikat militant pembangunan persatuan militan

Dengan situasi seperti di atas, maka menjadi wajar ketika hari ini, kita semua berkumpul di sini, membicarakan tentang perjuangan kita kedepan yang makin berat, sekaligus menyusun kuda-kuda bagi perjuangan jangka panjang kita.

Sebagian kawan-kawan yang hadir di sini, mungkin belum menjadi bagian dari sebuah serikat buruh, mungkin juga pernah menjadi bagian dari satu atau dua serikat buruh, namun kemudian keluar karena berbagai sebab, dan mungkin juga pemahaman kita yang hadir di sini juga belum semuanya sama, masih terkotak-kotak oleh pengalaman masing-masing, terkotak-kota oleh pengetahuan masing-masing, namun satu hal yang menyamakan kita di sini adalah kita sadar, kita tak bisa berjuang sendiri, kita tak cukup kuat berjuang sendiri, kiita membutuhkan alat perjuangan yang lebih besar, kita membutuhkan alat perjuangan yang lebih kuat, kita membutuhkan alat perjuangan yang lebih berani, kita membutuhkan alat perjuangan jauh lebih baik dari alat-alat perjuangan kita sebelumnya.

Sebelum-sebelumnya beberapa kawan dari berbagai serikat maupun yang belum berserikat, yang sekarang hadir disini telah berkali-kali melakukan komunikasi, telah melakukan kunjungan, telah saling memberikan solidaritas, yang dalam pembicaraan-pembicaraan di sana-sini, merasa resah dengan situasi sekarang, yang sama-sama merasakan perlunya memperkuat diri, yang kemudian melahirkan komitmen untuk membangun jaringan bersama secara nasional, dan memulainya dengan pertemuan kali ini.

Kita sungguh menyanyangkan ketidakhadiran kawan-kawan dari Kalimantan Timur maupun dari Yogya dan sekitarnya (sekalipun kita yakin, bahwa kawan-kawan di sana juga merasakan apa yang kita rasakan), namun itu tidak membuat kita berkecil hati, karena sekarang ini telah hadir kawan-kawan dari Sumatera Utara, kawan-kawan dari Jakarta, kawan-kawan dari Bandung, Kawan-kawan dari Sumedang, kawan-kawan dari Purwokerto, kawan-kawan dari Mojokerto.

Kita semua datang dengan semangat yang sama, semangat persatuan, tinggal tugas kita bersama untuk menjawab, persatuan seperti apa yang kita inginkan, persatuan seperti apa yang bisa menjawan tantangan kaum buruh kedepan, atau lebih kongkritnya, serikat buruh apa yang mau kita bentuk kedepan ini?

Jelas kita tidak ingin membentuk serikat buruh kuning, karena kita yang hadir di sini bukanlah kaum oppurtunis, bukanlah kaum yang mengejar karir maupun kesenangan pribadi. Kita tidak Kita yang hadir di sini, juga bukan bagian dari kaum yang sectarian, yang hanya berjuang untuk kepentingan kelompok kita saja, yang berjuang demi organisasi kita saja. Kita juga tidak akan membentuk serikat buruh yang radikal, namun bergandengan dengan Elit-Elit Politik, bergandengan tangan dengan Tentara, atau bergandengan tangan dengan Partai-Partai Penipu Rakyat, karena kita sadar, hanya kekuatan kitalah, hanya kemandirian politik kitalah yang menjamin kemenangan kaum buruh, kemenagan rakyat miskin, dan kita tidak akan membiarkan mereka menipu kita lagi.

Kita yang hadir di sini adalah kaum yang sadar tugas-tugas perjuangan, yang sadar arti dari sebuah pengorbanan, yang mempunyai komitmen kuat terhadap perjuangan melawan setiap penindasan pada kaum buruh dan rakyat miskin, yang percaya pada persatuan kaum tertindas dan bersedia untuk mewujudkannya.

Sehingga menjadi jelas, bahwa serikat buruh yang akan kita bentuk nantinya, adalah sebuah serikat yang tidak hanya berjuang ditingkat perusahaan (ini termasuk golongan yang sectarian), juga tidak hanya berjuang ditingkat kota maupun wilayah saja, namun kita akan membentuk sebuah serikat buruh yang akan mampu berjuang secara nasional, yang akan mampu menjadi alat perjuangan bagi kaum buruh Indonesia.

Serikat ini, jelas bukan serikat sembarangan, jelas bukan serikat kacangan, melainkan sebuah serikat yang dipandu oleh Ideologi perjuangan yang jelas keterpihakannya, yang akan dipandu oleh program-program perjuangan yang kongkrit, yang akan dipandu oleh strategi perjuangan yang tepat, yang mempunyai disiplin organisasi klas buruh, disiplin organisasi yang ketat, yang menghargai setinggi-tingginya demokrasi, menghargai perbedaan pendapat dan perdebatan, menghormati kawan-kawan seperjuangan, menyanyangi kawan-kawan buruh dan rakyat miskin.

Serikat yang akan kita bentuk, bukan juga serikat yang mengabaikan solidaritas bagi kawan-kawan buruh yang bukan anggota kita, bukan juga serikat yang mengabaikan solidaritas buat rakyat miskin, tapi serikat yang akan kita bentuk, adalah serikat yang menjunjung tinggi semangat solidaritas, semangat bersatu dengan kaum buruh lainnya, semangat bersatu dengan rakyat miskin.

Semua ini tidak mungkin kita lakukan, jika serikat yang kita bentuk, tidak mempunyai kekompakan, tidak mempunyai kesolidan internal yang kuat, yang antar satu basis dengan basis lainnya, sibuk dengan agendanya masing-masing, yang antara kota satu dan kota lainnya, sibuk berjuang sendiri-sendiri, tapi serikat yang akan kita bentuk adalah serikat yang mampun menunjukan kesolidan perjuangan, mampun menunjukan kekompakan perjuangan, yang mampu menunjukan kepada seluruh buruh Indonesia, bahwa bukan hal yang mustahil untuk membuat kekompakan perjuangan.

Serikat yang akan kita bentuk juga, bukanlah serikat yang membiarkan adanya kesenjangan pengetahuan, adanya kesenjangan kecakapan perjuangan, adanya gap antara pengurus dan anggota, adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, tapi serikat yang akan bentuk adalah serikat yang akan berjuang untuk terus meningkatkan pengetahuan semua anggota, bahkan pengetahuan semua kaum buruh Indonesia, serikat yang akan bentuk adalah serikat yang meletakan perempuan sama tingginya dengan laki-laki, yang melatih setiap anggotanya untuk mempunyai kecakapan-kecakapan perjuangan yang dibutuhkan kaum buruh Indonesia.



[1] http://fprsatumei.wordpress.com/2009/10/19/sby-boediono-rejim-anti-rakyat-boneka-amerika-brosur-propaganda-fpr/#more-589
[2] http://bisnis.vivanews.com/news/read/39597-apindo__maret_2009__240_ribu_orang_kena_phk
[3] http://www.depnakertrans.go.id/microsite/krisiscenter/
[4] http://www.danareksa-research.com/economy/media-newspaper/282-mewaspadai-inflasi-biaya-pendidikan
[5] http://www.kontan.co.id/index.php/nasional/news/14719/Biaya-Kesehatan-Sumbang-Inflasi-062
[6] http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/06/08194745/upah.buruh.industri.merosot

[7] Apa Neoliberalisme Itu? Definisi Singkat Bagi Aktivis; Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia




[8] Intinya buruh dijadikan "keluarga-besar" perusahaan, tidak berposisi antagonistis
[9] Sekalipun dengan wadah tunggal SPSI, kaum buruh sudah bisa dikontrol, namun untuk lebih memastikan control terhadap kaum buruh, Rezim Orde Baru juga menggunakan cara-cara kekerasan, melibatkan militer dalam setiap sengketa perburuhan.
[10] Selain PPBI di yang menggorganisir perlawanan kaum buruh, muncul pula berbagai organisasi militant lainnya, seperti Serikat Tani Nasional (STN) yang mengorganisir perlawnan kaum tani, ada Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang menjadi ujung tombak perlawanan mahasiswa terhadap Rezim Orde Baru. Di samping itu, ada Jaringan Kerja Budaya Rakyat (JAKKER) yang menghimpun perlawanan seniman, yang semuanya ini kemudian membentuk Persatuan Rakyat Demokratik (PRD), kemudian berkembang menjadi Partai Rakyat Demokratik.
[11] http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/07/12/0004.html
[12] http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/07/12/0004.html
[13] http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/07/12/0004.html
[14] Dibandingkan dengan partai-partai borjuis lainnya, PKS mempunyai kader-kader yang militant dan berpengalaman dalam pengolahan massa, termasuk dala melakukan aksi-aksi demonstrasi, dan secara organisasi, struktur PKS lebih solid.
[15] http://d.yimg.com/kq/groups/17000899/1281735469/name/PO.+Garda+Metal+FSPMI.pdf
[16] Dalam pemilu 2009 kemarin, Bambang Wirayoso, Ketua Umum SPN dan Said Iqbal, Ketua Umum SPMI menjadi caleg PKS, di samping masih banyak lainnya yang juga menjadi caleg PKS. Memang ada juga yang mejadi caleg partai lainnya seperti, namun faksi PKS lah yang paling kuat.
[17] Saat ini Komisaris PT Jamsostek dari perwakilan serikat buruh adalah Sukur Sarto (SPSI) dan Rekson Silaban (SBSI)
[18] SPSI pada tahun 2002 mendapatkan dana Rp 900 juta dari PT Jamsostek, Sementara SPMI pada tahun-tahun belakangan ini berkerja sama dengan Jamsostek dan Depankertrans membangun komplek perumahan buruh
[19] http://www.jamsostek.co.id/info/berita.php?id=457
[20] Penyususan Draff UU 13/2003 sebelum menjadi UU, melibatkan hampir semua pimpinan serikat buruh kuning (terutama serikat buruh kuning yang besar), dan dalam penolakan pengesahannya, serikat-serikat kuning ini sama sekali tidak terlibat (paling tidak, di Jakarta, bisa di pastikan tidak ada keterlibatan mereka dalam aksi menolak pengesahan UU ini pada bulan maret 2003)
[21] Saat ini FPBJ sedang mendorong Serikat Pekerja Kereta Api Jabotabek (SPKAJ) untuk menjadi Federasi Tingkat Nasional, sembari FPBJ juga mulai meluaskan pengaruhnya ke Lampung, Yogya, Semarang dan Cirebon. Perluasan FPBJ ini terutama dibantu oleh Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) yang merupakan organ mahasiswa sekawannya, dengan mendeploy anggota-anggotanya yang dianggap cakap untuk melakukan pengorganisiran buruh.
[22] Di Kalimantan Timut dan Ternate, sempat terjadi pemukulan terhadap kawan-kawan FPN, bahkan di Ternate terjadi penculikan, dan di Kalimantan, terjadi penyerangan ke secretariat. Di Jakarta, upaya untuk intimidasi juga dilakukan, dengan menyabar selebaran palsu, yang berisi pengumuman pembagian sembako gratis, tujuannya adalah agar massa menjadi marah, dan kemudian merusak sekber ABM (sekaligus FPN), atau paling tidak menjadi tidak percaya pada ABM dan FPN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar