Powered By Blogger

Minggu, 21 November 2010

BERSAMA MAHASISWA PROGRESIF-RAKYAT HADANG PEMILUKADA BUSUK ANTEK-ANTEK KAPILTALISME!!!


BANGUN PERSATUAN GERAKAN MANDIRI YANG BERSEKALA NASIONAL!!

Sudah tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan pemerintahan yang tak menyayangi rakyat miskin. Jika begitu, ayo rakyat bersatu, gulingkan pemerintahan SBY-Boediono!!! 

Peringatan-peringatan berupa protes rakyat yang secara bertubi-tubi datang semenjak dilantiknya SBY-Boediono—untuk kedua kalinya—terus bergulir, dengan bermacam-macam kesadaran dan tuntutan. Seperti yang sudah-sudah, janji akan kesejahteraan tak kunjung menghampiri rakyat miskin. Kemakmuran, pendidikan gratis, kesehatan gratis, lapangan kerja bagi rakyat, demokrasi sejati, minyak murah kian menjadi jauh dari angan-angan, semakin menjadi mitos di negeri ini. Bagaimana tidak, jika rezim sekarang semakin lama semakin jatuh dalam genggaman kapitalisme-neoliberal yang menjadi awal dari segala kesengsaraan—derita.

Pemilukada Balikpapan bukan jalan keluar

Dalam masyarakat, pemilihan umum daerah (pemilukada) demoktatis, jujur dan adil (jurdil), langsung, umum,bebas serta rahasia (luber) merupakan sebuah ukuran sudah ditegakannya demokrasi dalam kehidupan bernegara. Rezim orde baru dibawah kediktatoran soeharto sampai rezim demokrasi ala sby-budiono telah membunuh demokrasi sejati dengan cara mengatur (merekayasa) pemilu yang curang agar dapat memenangkan/mempertahankan kekuasaan guna kepentingan klik ekonominya. Sekarang, seharusnya bisa ada perubahan yaitu dari kediktatoran menuju demokrasi, bila saja warisan-warisan politik lama tidak terus menerus dipertahankan.


Sebelum kita dapat mendisikusikan tentang sebuah bentuk demokrasi, yang benar-benar memberikan kesempatan untuk semua anggota masyarakat terlibat di dalamnya dan kemudian juga sekaligus menegakkannya, paling tidak kita mencoba memahami bagaimana partisipasi anggota masyarakat berkembang hingga sekarang.

Demokrasi dikatakan Abraham Lincoln: "Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." Pernyataan ini memang sangat terbuka, dalam arti orang bisa terjebak dalam perdebatan untuk mengartikan siapa itu rakyat. Ataupun, justru kalimat ini menutupi kenyataan yang sebenarnya. Dalam kenyataannya, pada saat Lincoln mengatakan hal itu, demokrasi tak lebih sebuah klaim atas keseluruhan masyarakat. Sementara Lincoln mempromosikan emansipasi kaum kulit hitam, ia sendiri adalah wakil dari elemen masyarakat yang memiliki kendali atas alat-alat pemenuhan hajat hidup mayoritas rakyat (pabrik-pabrik dan perkebunan). Apakah para budak kulit hitam yang "diemansipasikan" kemudian memiliki kendali atas pabrik-pabrik? Apakah para buruh pada saat itu memiliki hak yang sama dengan para manajer dan pemilik saham dalam menentukan kerja di dalam sebuah pabrik?

Demokrasi bukanlah sebatas dunia politik, tetapi juga harus diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kerja-kerja pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam bekerja, dalam menentukan produksi, dan hal-hal yang selama ini dianggap rutin dan remeh-temeh yang justru sebenarnya adalah penentu keberadaan manusia di dunia ini.

Kenyataan Lemahnya Kontrol Rakyat

Setelah Soeharto tumbang oleh desakan modal dan masyarakat, pada 7 Juni 1999 diadakan Pemilu multipartai pertama semenjak penggabungan partai-partai di 1970an. Tak kurang 100 partai politik berdiri, mendaftar sebagai kontestan pemilu. Hanya 48 partai yang lolos kualifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam kampanye, partai-partai lama berhasil melakukan penggalangan-penggalangan massa, menebar janji-janji, dan membagi-bagi uang untuk membeli suara rakyat. Rakyat Indonesia begitu percaya bahwa partai-partai besar ini akan memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang akan menguntungkan rakyat.

Setelah Pemilu, masuklah masa persidangan MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, plus remeh temeh kenegaraan lainnya. Namun inilah yang membuktikan bahwa parlemen dan pemilu bukanlah sarana demokrasi untuk rakyat. Di sinilah bukti bahwa wakil-wakil “rakyat” di parlemen akan selalu memiliki kemungkinan untuk berkhianat kepada massa pendukungnya. Dan Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan 2000 dan sidang-sidang DPR terbukti bukanlah sidang untuk kepentingan rakyat. Sidang-sidang itu adalah sidang-sidang untuk membicarakan kepentingan kaum penguasa dan mengeluarkan produk hukum untuk membela kaum penguasa dan memaksakan kehendak minoritas kepada mayoritas.

Dan jika kita melihat negara-negara yang mengedepankan liberalisme, hal yang berbeda secara teknik namun sama pada intinya juga terjadi. Kebijakan-kebijakan peperangan yang menghabiskan pajak untuk persenjataan bukan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat justru terjadi pada negara-negara liberal. Dan justru kebijakan-kebijakan tersebut disahkan oleh lembaga perwakilan rakyat mereka.

Akan tetapi memang tak aneh jika parlemen hanya memperhatikan kaum yang berkuasa secara ekonomi dan politik. Asal-usul parlemen di Eropa adalah sidang para pembayar pajak. “Tak ada pajak tanpa perwakilan!” teriak para bangsawan Inggris yang perlahan telah berubah menjadi kaum merkantilis (pedagang). Dipimpin Oliver Crommwell, mereka memenggal Raja Charles I, mendirikan Republik Inggris, dan di dalamnya sebuah sistem parlemen yang anggotanya adalah para tuan tanah dan pedagang kaya. Hal yang sama terjadi di revolusi Perancis, meski dengan intervensi rakyat pekerja yang lebih besar. Anggota Konvensi (parlemen hasil revolusi) hanyalah kaum intelektual, pengusaha, dan tuan tanah baru. Tidak ada para hamba dan petani penggarap, yang sebenarnya menjadi motor utama revolusi tersebut. Dan bentuk dan isi parlemen seperti ini masih dipergunakan di seluruh negara yang mengusung nama demokrasi. 

Dengan bentuk seperti ini, parlemen apapun yang akan dipilih oleh pemilu sebersih-bersihnya, pastilah hanya akan membela kaum penguasa ekonomi dan politik, pastilah hanya mementingkan minoritas di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat. Artinya, kontrol rakyat terhadap berjalannya negara sangatlah lemah.

Penindasan oleh Si Kuat atas Si Lemah

Kita tidak dapat berbicara demokrasi hanya sebatas untuk urusan politik belaka, urusan menentukan kebijakan negara saja. Namun kita harus jauh lebih dalam, ke dalam keseharian kehidupan masyarakat kita. Tidak demokratisnya demokrasi liberal, bukan terletak hanya sebatas pada parlemen, tetapi justru terletak di pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, rumah-rumah, pasar-pasar, keluarga-keluarga dalam masyarakat kita.

Kehidupan sehari-hari masyarakat adalah perjuangan anggota-anggota masyarakat sebagai sebuah kesatuan dalam memperoleh kebutuhan sehari-harinya. Artinya, dasar adanya masyarakat adalah pemenuhan ekonomi, dengan kata lain urusan perut. Tetapi ini tidak sesempit urusan perut belaka, justru hubungan-hubungan yang terjadi antar manusia dalam memenuhi urusan perut itulah yang mendirikan masyarakat.

Tidak demokratisnya masyarakat, penindasan minoritas terhadap mayoritas, justru terlihat di dalam pabrik-pabrik, kantor-kantor, pasar-pasar, dan tempat-tempat mencari nafkah lainnya. Di dalam sebuah perusahaan, yang menentukan saat bekerja, saat istirahat, saat berlibur, perencanaan produksi, perencanaan penjualan, dan yang paling penting pembagian upah, adalah pemilik perusahaan yang pada prinsipnya tidak melibatkan partisipasi kaum buruh. Kalaupun ada pelibatan, biasanya berupa konsesi (sogokan kecil dan sementara) ketika posisi sosial dan politik kaum buruh sedang menguat, misalnya dalam keadaan gelombang pemogokkan besar-besaran. Namun begitu posisi buruh melemah, maka para pimpinan perusahaan (tentu saja mereka adalah para pemilik modal) langsung mencabut konsesi tersebut dan mengkonsumsi seluruh keuntungan yang diperoleh perusahaan. Padahal, seluruh keuntungan itu tak akan ada tanpa adanya kerja kaum buruh.

Demokrasi Kerakyatan

Lalu demokrasi seperti apakah yang akan membawa manusia ke dalam kemakmuran dan kesejahteraan bersama? Seperti apakah demokrasi yang benar-benar manusiawi?

Pertama, demokrasi baru ini haruslah menjadi jawaban atas segala pertentangan-pertentangan yang ada di dalam masyarakat yang ada. Ia harus menjadi alat keseluruhan masyarakat untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat, bukan hanya untuk segelintir minoritas masyarakat. Ia harus tidak lagi memisahkan pemenuhan kebutuhan masyarakat (ekonomi) dengan pengaturan dalam masyarakat itu sendiri (politik) dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri (sosial). Tidak ada lagi pemisahan antara negara dan masyarakat, artinya tidak ada anggota masyarakat yang terus menerus kerjanya hanya menjadi aparat negara (tentara dan birokrat), akan tetapi semua anggota masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan negara dan berkesempatan yang sama serta bergiliran dalam menjalankan fungsi-fungsi aparat negara.

Kedua, demokrasi ini haruslah menjadi perwujudan kehendak sejati mayoritas anggota masyarakat (secara ekonomi, sosial, dan politik), didasarkan atas kesetaraan posisi dan kerja tiap anggota masyarakat (tidak ada lagi penghargaan berlebihan terhadap kerja mental dan kerja manual, tetapi menghargai usaha, kemampuan, dan kebutuhan tiap individu), dan haruslah melahirkan sebuah hubungan antar manusia yang bekerja sama saling menguntungkan sebagai satu kesatuan (kolektif).

Ketiga, segala hasil keputusan bersama, hasil dari proses demokrasi itu sendiri, harus secara disiplin dijalankan oleh semua anggota masyarakat. Minoritas yang tidak sepakat dengan keputusan tersebut boleh tetap beradu argumen dengan mayoritas lainnya, tetapi mereka harus dengan disiplin dan tanggung jawab menjalankan keputusan yang mereka tentang itu. Perbedaan pendapat yang mereka lakukan boleh mereka propagandakan sebagai bahan pembicaraan dalam proses pengambilan keputusan berikutnya.

Singkat kata, demokrasi jenis baru ini adalah demokrasi yang benar-benar melibatkan seluruh anggota masyarakat secara utuh dan nyata (tidak hanya di atas proklamasi-proklamasi yang indah-indah), yang benar-benar proses keseharian dalam hidup seluruh anggota masyarakat, dan direncanakan sekaligus dijalankan dengan kedisiplinan oleh seluruh rakyat. Karenanya dapat dikatakan sebagai Demokrasi Kerakyatan.

Partisipasi Semua Individu

Dalam mewujudkan dirinya, demokrasi kerakyatan harus dijalankan dengan prinsip partisipasi aktif setiap individu. Siapapun yang ingin memastikan terjadinya demokrasi kerakyatan harus memastikan adanya kesempatan dan kemauan untuk setiap individu berpartisipasi aktif. Karenanya, negara yang melandaskan dirinya kepada demokrasi kerakyatan haruslah memiliki ciri sebagai berikut;

Pertama, tidak memisahkan dengan jelas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Lembaga-lembaga yang dibutuhkan adalah yang dapat membuat hukum sekaligus menegakkannya. Singkatnya, masyarakat di setiap tempat kehidupan mereka harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus menjalankan kerja politik dan ekonomi. Ini sangat penting, sebagai jalan terbaik untuk mengurangi sebanyak mungkin ruang-ruang kosong antara kekuasaan nyata, yang semakin terkonsentrasi pada lembaga permanen (kepolisian, pemerintahan daerah, dan sebagainya), dengan kekuasaan fiktif yang tersisa pada dewan-dewan (parlemen). Kekosongan ini adalah ciri dari demokrasi liberal. Tidak akan cukup hanya mengganti musyawarah semu dengan musyawarah yang lain, jika tidak satupun yang berubah mengenai kekuasaan kosong ini. Dewan-dewan ini haruslah memiliki kekuasaan eksekutif

Kedua, jabatan-jabatan publik harus dipilih langsung, sampai tingkat setinggi-tingginya. Tidak hanya anggota dari dewan yang dipilih. Hakim, pejabat tinggi, perwira milisi, pengawas pendidikan, manajer pekerjaan umum, harus juga dipilih. Tentu saja akan sangat mengejutkan untuk negara seperti Indonesia. Tapi pada negara demokrasi liberal tertentu, AS, Swiss, Kanada, ataupun Australia, telah memakai pemilihan langsung pada sejumlah peran-peran publik. Di AS, serif dipilih oleh sesama warganya. Dalam demokrasi kerakyatan, pemilihan pejabat publik harus juga dibarengi dengan hak untuk menarik kembali pada semua kasus, misalnya menurunkan pejabat yang tidak memuaskan setiap saat.

Lalu, kendali permanen dan ketat atas penjalanan peran-peran negara harus dilakukan, dan pemisahan antara yang menjalankan kekuasaan negara dan masyarakat yang diatasnamakan dalam kekuasaan tersebut, dibuat sekecil mungkin. Itulah sebabnya diperlukan kepastian pergantian secara konstandari pejabat terpilih, untuk mencegah orang memegang jabatan secara permanen. Penjalanan peran negara, dalam skala luas, harus dilakukan secara bergantian oleh warga secara keseluruhan.

Mayoritas Di Atas Minoritas

Hal yang paling prinsip dalam menjalankan Demokrasi Kerakyatan adalah tetap menjaga demokrasi sebagai alat kepentingan seluruh anggota masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat. Memang sulit untuk mencapai kesepakatan untuk semua orang, namun perwujudan yang paling logis dari seluruh masyarakat adalah bagian mayoritas dari masyarakat tersebut. Inilah alasan kenapa kaum penguasa selalu menggunakan penipuan-penipuan seperti parlemen dan pemilu, untuk membuat seolah-olah keputusan yang diambil dalam parlemen adalah kehendak mayoritas masyarakat. Contohnya, ketika dalam pengaturan upah kita dapat lihat bahwa dengan mata telanjang kebutuhan mayoritas rakyat (kaum buruh) disetarakan dengan kerakusan para pemilik modal dalam negosiasi-negosiasi tertutup di dalam gedung parlemen.

Sifat kerakyatan adalah sifat yang berorientasi kepada mayoritas rakyat. Jadi dalam demokrasi kerakyatan, keputusan diambil berdasarkan kehendak dan kebutuhan mayoritas dan ini secara nyata. Bukan sebatas pengambilan suara saja, tetapi proses diskusi, perdebatan, dan akhirnya penalaran haruslah diadakan di permusyawaratan rakyat terkecil. Bentuk-bentuk pemilihan umum dan parlemen seperti sekarang (sebatas pengambilan suara) adalah penghambat dari kekuasaan mayoritas rakyat, karena justru menjebak mayoritas ke dalam perintah-perintah minoritas.

Namun, demi menjamin kesalahan seperti itu, kebebasan pendapat dan berekspresi harus dijamin, selama kebebasan tersebut tidak dimanfaatkan untuk menipu dan menindas mayoritas rakyat ataupun menghancurkan kekuasaan mayoritas. Tentu saja pelarangan tersebut dan pengadilan terhadap pelanggarannya juga harus melalui permusyawaratan-permusyawaratan rakyat.

Maka sejak awal PPRM Balikpapan menyatakan dengan tegas bahwa PEMILUKADA Balikpapan bukan jalan keluar untuk melepaskan belenggu penghisapan rakyat. 

Kebutuhan Mendesak: Persatuan Gerakan Mandiri Berskala Nasional.

Para koboi penunggang kasus korupsi dengan pemantiknya adalah kasus Century, merupakan unsur-unsur yang sama-sama membawa kepentingan elite borjuasi. Unsur yang pertama ialah: para elite parpol yang berada di dalam parlemen (panitia khusus Century), dan, unsur kedua ialah: para elite politik yang tak dapat jatah di dalam parlemen, para intelektual/cendekiawan/akademisi, gerakan/aktivis oportunis, dimana mereka menggabungkan diri dengan membentuk Komisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK) yang dimotori oleh Fadjroel Rahman, Effendi Gazali, Edo Kondologit dan Usman Hamid.

Secara umum, terdapat kekosongan ruang untuk mengisi panggung propaganda dengan jalan keluar sosialisme. Panggung politik nasional hanya diisi oleh kelompok-kelompok yang memiliki hubungan dengan para elite politik busuk. Sementara, kita sangat membutuhkan sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya saluran propaganda kita, butuh lebih besar lagi kapasitasnya, sehingga, kadar perlawanan spontan rakyat lama kelamaan mampu kita dekatkan dengan politik rakyat miskin. Jadi, di dalam gerakan rakyat sendiri belum memiliki persatuan/front yang memiliki karakter mandiri–anti kooptasi anti kooperasi. Potensi persatuan yang selayaknya kita galang adalah kelompok-kelompok yang memiliki perspektif kiri.

Demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat (dengan kadar tuntutan yang berbeda-beda; ekonomis) dapat dijadikan landasan bagi kita untuk menyimpulkan kesadaran rakyat. Ada pelajaran yang menarik agar kita agar bisa mengukur kesadaran, sekaligus sebagai contoh baik yang ditunjukkan oleh warga dalam membela Prita Mulyasari (Gerakan Koin untuk Prita). Warga, dalam hal ini yang bersolidaritas untuk Prita, mengorganisir dirinya untuk bersama-sama membela dan mendukung Prita dengan metode pengumpulan koin. Spontanitas warga tersebut seolah memberikan kita kesimpulan bahwa kehendak rakyat untuk mengorganisir dirinya sendiri memiliki tempat pada kesadaran, meskipun masih sangat jauh kualitas dan metode berlawannya.

Dari pemaparan di atas, semakin jelas kebutuhan persatuan gerakan mandiri yang bisa mengusung program politik yang kongkret dan menjadi jalan keluar mendesak rakyat. Elit-elit politik tak sanggup mengkooptasi momentum-momentum politik sehingga berbalik menguntungkan mereka, meski upanya dilakukan dengan mulai menghadiri beberapa kali aksi korupsi. Tetapi masih saja sulit. Hal ini tidak terlepas dari semakin besarnya ketidakpercayaan rakyat terhadap elit-elit politik busuk.

Secara obyektif potensinya besar untuk bisa bermuara pada mobilisasi politik yang luas dan politis, akan tetapi hambatan-hambatan di dalam gerakan masih sulit untuk mewujudkan kebutuhan obyektif tersebut. Fragmentasi dan berserakannya gerakan semakin luas, persatuan yang sebelumnya terbangun di FPN, ABM, KRB yang menerima politik Non Kooptasi – Non Kooperasi, dengan di cirikan oleh program politiknya yang menyerang seluruh elit politik dan tindakan politiknya, macet ditengah jalan. Penyebabnya, tentu saja, tak adanya keyakinan atas bersatunya kekuatan pelopor yang terorgansisasikan dengan baik dapat memimpin perjuangan politik massa.

Belum lagi, fragmentasi-fragmentasi persatuan lainnya yang bergerak dalam isu-isu ekonomis, korupsi saja yang banyak di antaranya di isi oleh unsur-unsur terkooptasi (Misalnya PAPERNAS cs, REPDEM, dan lain sebagainya)—bahkan elit politiknya—yang sebelumnya mendukung pemilu elit, tanpa pengakuan bersalah terhadap tindakan politik sebelumnya. Walaupun ada contoh positif dari aksi 36 serikat buruh di Jakarta yang mengkampanyekan ketidakpercayaan terhadap elit-elit serikat buruh mereka. Hal itu merupakan perkembangan maju, walaupun masih jauh dalam pengertian sebenarnya, yakni membangun politik kemandirian rakyat, atau percaya pada kekuatan rakyat sendiri untuk membangun kekuasaannya.

Dalam situasi tersebut, gerakan yang mendasarkan dirinya pada politik kemandirian, harus mengisi setiap fragmen-fragmen yang ada, memberikan perspektif politik yang maju, menghancurkan hegemoni politik borjuasi yang bisa dengan mudah memanipulasi kesadaran rakyat, dan menyatukannya dalam mobilisasi politik sehingga ada syarat-syarat perluasan propaganda tercapai. Dan pada akhirnya, alat politik persatuan gerakan yang mandiri—yang meyakini bahwa perjuangan pembebasan nasional hanya bisa diletakkan pada kekuatan gerakan dan rakyat—harus terbangun dan dapat meluas serta mengalahkan hegemoni dan dominasi politik rezim agen penjajah beserta elit-elit politik busuknya. MAHASISWA PROGRESIF-RAKYAT SEDANG MERAMBAH JALAN BARU, JALAN SEJARAH KEMANUSIAAN. KAMI, PPRM BALIKPAPAN, MENUNDUKKAN KEPALA DENGAN TULUS: HORMAT.


Balikpapan, 30 September 2010


Sekertaris PPRM Balikpapan - ila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar