Powered By Blogger

Rabu, 24 November 2010

Membangkitkan Gerakan Buruh Perempuan

Di tengah situasi ekonomi yang tak kunjung membaik, banyak perempuan yang berpendidikan rendah dengan ketrampilan terbatas. Tidak heran jika kemudian kaum perempuan yang mayoritas berasal dari pedesaan ini kemudian merantau ke perkotaan untuk menjadi buruh pabrik. Sementara, bagi para pemilik modal, buruh perempuan adalah tenaga kerja murah untuk merengkuh keuntungan yang melimpah. Oleh karena perempuan dianggap mahkluk lemah yang dinilai akan diam saja ketika ditindas dan dipreteli hak-haknya, maka dengan mudah kita temui kasus-kasus yang menimpa buruh perempuan. Dari kasus pelecehan seksual, tidak dipenuhinya cuti hamil sesuai UU Ketenagakerjaan, cuti haid, upah tanpa tunjangan pasangan seperti yang diterima oleh lelaki dan kasus lainnya. Berbagai kasus tersebut terus bermunculan, tanpa perlindungan negara. Negara, dalam hal ini, menjadi alat bagi para pemodal untuk meraih keuntungannya sehingga berbagai kebijakan negara tidak ada yang berpihak pada kepentingan buruh. Apa lagi melindungi buruh perempuan yang mengalami berbagai eksploitasi di balik dinding pabrik. Sementara dalam gerakan buruh sendiri, meski buruh perempuan merupakan mayoritas anggota serikat buruh, masih sedikit buruh perempuan yang menduduki posisi strategis sebagai pimpinan. Padahal dalam sejarahnya buruh perempuan pernah menempati posisi penting dalam pergerakan buruh, bahkan pernah menjadi Menteri Perburuhan pertama.
Menilik Sejarah Gerakan Buruh Perempuan
Berbicara mengenai gerakan buruh perempuan, tidak bisa lepas dari gerakan buruh dah gerakan perempuan dengan berbagai aktivitas politiknya. Dalam sejarahnya, buruh perempuan pernah memiliki catatan sejarah sebagai sebuah gerakan. Bersama gerakan perempuan, buruh perempuan memperjuangkan hak-haknya baik sebagai buruh maupun sebagai perempuan. Pada tahun 1946, buruh perempuan berhasil mengorganisasikan dirinya dalam Barisan Boeroeh Wanita (BBW) di bawah kepemimpinan SK. Tri Murti yang kemudian menjadi Menteri Perburuhan Indonesia pertama. Bahkan, dalam momentum 1 Mei 1946, BBW berhasil merekrut beberapa calon pimpinan buruh perempuan untuk dilatih selama dua bulan .
Jauh sebelumnya, gerakan buruh perempuan pertama kali mencuat pada tahun 1930an yang dikenal dengan kasus Lasem . Kasus tersebut merupakan kasus perburuhan yang menimpa buruh perempuan industri batik. Berdasarkan pada laporan yang dibuat oleh kantor tenaga kerja pada tahun 1931, telah terjadi eksploitasi buruh perempuan yang cukup luas dengan gaji yang sangat kecil. Para buruh perempuan ini mayoritas adalah buruh luar yang selain digaji dengan upah yang sangat kecil, juga dikenai denda yang besar jika melakukan kesalahan. Denda tersebut, kemudian membuat keluarga buruh perempuan terjebak pada utang piutang yang menyebabkan buruh perempuan harus bekerja di pabrik untuk melunasi utangnya. Perempuan, pada akhirnya harus bekerja keras membanting tulang, kelaparan, dan mengalami pelecehan seksual. Jika buruh perempuan itu melarikan diri, maka kerabatnya harus menggantikan ia bekerja di pabrik dan mengalami penistaan yang sama.

Seiring dengan mencuatnya kasus itu, baik gerakan nasionalis maupun gerakan perempuan melalui medianya kemudian meresponnya. Istri Sedar adalah salah satu organisasi perempuan yang membahas kasus tersebut dalam kongresnya pada tahun 1931. Mudinem, sebagai pemimpin dari Istri Sedar menyampaikan bahwa terdapat tiga buruh perempuan yang harus memperoleh perhatian. Diantaranya, buruh batik, tenun, jahit dan industri rumahtangga yang menerima kerja borongan dan tidak memiliki pendapatan tetap dan keamanan kerja. Selain itu, para pekerja rumah tangga, kuli dan pedagang kaki lima juga perlu mendapat perhatian. Kongres Istri Sedar tersebut kemudian menghasilkan sebuah program untuk memperjuangkan kebutuhan perempuan dan membentuk komite yang bertugas menginvestigasi kerja-kerja perempuan di masa itu. Selanjutnya, pada kongres ke dua Istri Sedar pada tahun 1932, diperdengarkan laporan dari komite tersebut, dimana terdapat 383 kasus buruh perempuan sebagai buruh harian pabrik dan pembantu rumah tangga dan pedagang. Dalam kongres ke dua ini, Istri Sedar memutuskan untuk memperjuangkan UU Ketenagakerjaan yang lebih baik bagi buruh perempuan.

Pasca kemerdekaan, Indonesia mengukir sejarah dimana untuk pertama kalinya pada tahun 1947, seorang perempuan diangkat sebagai Menteri Perburuhan. Ia adalah S.K. Tri Murti, seorang aktivis buruh yang tergabung dalam Partai Buruh Indonesia yang berdiri pada tahun 1946. Di masa kerjanya sebagai Menteri Perburuhan, S.K. Trimurti menggagas Undang Undang tenaga kerja pertama pada tahun 1948. Dalam Undang-undang tersebut, anak-anak di bawah usia 14 tahun dilarang bekerja, perempuan dibatasi bekerja di pertambangan dan tempat lain yang membahayakan keamanan, kesehatan dan moralitas, dan dari bekerja malam. Selain itu juga memberi waktu bagi ibu untuk menyusui anaknya, cuti melahirkan selama tiga bulan, dan cuti haid selama dua hari setiap bulannya.

Adalah Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), organisasi perempuan yang gencar memperjuangkan hak-hak buruh perempuan. Gerwani, awalnya bernama Gerwis berdiri pada tahun 1950 dan merubah namanya menjadi Gerwani pada tahun 1954. Keanggotaan Gerwani pada tahun 1957 berjumlah 100 ribu dan meningkat menjadi 700 ribu pada tahun 1960, dan 1,5 juta di tahun 1963. Sekitar 40% rantingnya berada di pedesaan. Secara tegas, pemimpin Gerwani, Umi Sarjono, menyatakan bahwa perjuangan hak buruh perempuan adalah tugas Gerwani. Hak-hak buruh perempuan yang diperjuangkan diantaranya adalah upah yang setara untuk kerja yang sama, tempat penitipan bagi anak-anak buruh, hak promosi karir bagi perempuan, kursus pelatihan bagi perempuan untuk meningkatkan karir, serta hak menerima tunjangan upah yang setara dengan lelaki, demikian pula upah layak bagi buruh perempuan di sektor informal dan lahan mencari nafkah bagi mereka, kredit murah dan mudah dari pemerinah, tempat menginap di malam hari, sera pajak pasar yang ringan.

Dalam hal pengorganisiran, Gerwani menjalankan taktik yang menarik simpati perempuan dan bersifat praktis. Taktik tersebut diantaranya program pembrantasan buta huruf, mendirikan sekolah Taman Kanak-Kanak, koperasi konsumsi, kelompok tolong menolong dan simpan pinjam, tempat penitipan anak yang dalam sejarahnya berhasil mendirikan 1500 tempat penitipan anak. Hal yang menarik lainnya adalah Gerwani juga membantu kaum perempuan dalam pekerjaannya. Namun, Gerwani tidak pernah luput untuk juga memajukan kesadaran politik perempuan dengan melatih para perempuan ini menjadi pimpinan.

Selain itu, Gerwani juga bekerja sama dengan serikat buruh, yakni bersama SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) untuk mengorganisasikan buruh perempuan. Gerwani menyadari bahwa serikat buruh didominasi oleh mayoritas lelaki, maka dengan militant, Gerwani memberikan penyadaran pembebasan perempuan di kalangan serikat buruh dan memperjuangkan agar buruh perempuan memiliki kapasitas untuk menjadi pimpinan-pimpinan serikat buruh. Sementara, di sektor tani, Gerwani bekerja sama dengan BTI (Barisan Tani Indonesia). Bentuk-bentuk kerjasama Gerwani dengan BTI maupun SOBSI adalah mengadakan ajang-ajang diskusi, pelatihan, pertemuan nasional tentang perjuangan perempuan. Pengaruh Gerwani juga cukup besar terhadap organisasi perempuan lain, termasuk Kowani sebagai wadah persatuan organisasi perempuan masa itu. Hal itu terlihat dalam keputusan Kowani dalam konferensinya tahun 1957, untuk membentuk seksi buruh untuk menyelesaikan kasus perburuhan perempuan. Semenjak Gerwani dihancurkan oleh Orde Baru, belum ada lagi organisasi gerakan perempuan yang mampu membangkitkan kekuatan buruh perempuan.

Langkah Maju Membangkitkan Gerakan Buruh Perempuan
Tidak ada pelajaran berharga selain dari sejarah itu sendiri. Indonesia bagaimanapun memiliki sejarah perjuangan gerakan buruh perempuan yang panjang dan karena itu layak menjadi referensi. Pelajaran berharga tersebut adalah pentingnya pengorganisiran massa buruh perempuan. Salah satu diantaranya adalah dengan membangun organisasi buruh perempuan seperti pendirian BBW (Barisan Buruh Wanita) yang sempat diketuai oleh SK. Trimurti. Pembentukan organisasi buruh perempuan atau serikat buruh perempuan dalam hal ini tak dipandang sebagai pemisahan secara seksual antara lelaki dan perempuan. Akan tetapi, adalah sebuah taktik untuk membangun keberanian memperjuangkan haknya sebagai buruh perempuan dan perempuan. Taktik ini tidak ada salahnya, asal terus diarahkan dalam prinsip perjuangan kelas sebagai kelas buruh menggulingkan sistem kapitalisme, sehingga wajib menyatukan diri dengan perjuangan buruh secara keseluruhan. Wajar bila serikat buruh perempuan dibangun dengan landasan buruh perempuan yang paling tertindas dalam sistem kapitalisme disbanding buruh lelaki karena buruh perempuan juga tertindas oleh budaya patriarki. Namun perjuangannya tak terpisah dengan perjuangan buruh keseluruhan bersama buruh laki-laki.

Taktik lain yang bisa dikerjakan adalah dengan membangun komite buruh perempuan dalam serikat buruh. Komite perempuan ini selain bertugas untuk membangun kesadaran feminisme di kalangan buruh perempuan, juga di kalangan buruh lelaki. Selain itu, harus ditanamkan bahwa serikat buruh secara keseluruhan berkewajiban untuk mengemban tugas pembebasan perempuan. Tidak bisa disalahartikan bahwa tugas pembebasan perempuan hanyalah tugas komite perempuan dalam serikat buruh.

Kerjasama dengan serikat buruh progresif dalam bentuk ajang-ajang massa seperti pelatihan buruh perempuan, pelatihan feminisme, rapat akbar, tempat penitipan anak dan lainnya, juga penting dilakukan sebagaimana yang dikerjakan oleh Gerwani. Hal ini bisa mendorong maju kesadaran serikat buruh yang masih didominasi oleh lelaki untuk turut serta memperjuangkan perempuan, serta memastikan kaum buruh perempuan menjadi pimpinan serikat buruh. Sementara, penyatuan di kalangan gerakan perempuan tak kalah pentingnya dalam bentuk wadah yang menampung seluruh organisasi gerakan perempuan seperti Kowani. Hal itu terbukti efektif, dimana Kowani di masa itu menjadi alat efektif yang mengkonsolidasikan kekuatan gerakan perempuan dalam memperjuangan hak-hak perempuan, termasuk buruh perempuan.

Selanjutnya, adalah pemastian program meningkatkan kapasitas buruh perempuan seperti pendidikan dan pelatihan kepemimpinan, disamping program-program yang mampu menarik simpati massa buruh perempuan. Keberhasilan Gerwani dalam melaksanakan program yang menarik simpati massa buruh perempuan patut dicontoh seperti pendirian tempat penitipan anak, pelatihan menjahit, koperasi simpan pinjam dan sebagainya. Akhir kata, pembentukan organisasi perempuan yang beskala nasional yang dituntun oleh ideologi Marxisme adalah awal bagi bangkitnya gerakan buruh perempuan.

Ditulis oleh Dian Septi Trisnanti,
Aktivis KP-PPBI (Komite Persiapan- Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia)
Anggota Perempuan Mahardhika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar