Powered By Blogger

Rabu, 29 Desember 2010

Setelah Hilangnya sebuah Harapan (Oleh: Dodoy Kudeter)

Tak perlu aku menjelaskan panjang lebar. Aku hanya ingin melihat negri ini damai, aman, adil, dan makmur. Yang pintar menulis sudah cukup banyak, yang pintar berbicara sudah cukup banyak, yang berteriak “merdeka” juga cukup banyak, tapi yang menyadari dari lubuk hati yang paling dalam bahwa negeri ini masih dijajah apa sudah meluas sampai pelosok negeri?
Belum..belum..jawabannya belum…
Bicara hanya sebatas kaum pelajar, cendekiawan, dan kaum intelek…
Apakah kaum buruh mengerti dirinya dihisap?
Tenaganya dikuras habis tapi hasilnya di nikmati si kapitalis?



Indonesia dapat dikategorikan sebagai Negara yang tragis di dunia. Bukan hanya bencana yang silih berganti menimpa dan merenggut ribuan korban jiwa, tetapi juga kemiskinan massal yang menimpa sebagian besar rakyat Indonesia. Ini bukan hal yang baru bagi rakyat indoensia, krisis moneter tahun 1997 merupakan bukti konkrit untuk melihat hal itu. Maszab neoliberalime yang di terapkan oleh Pemerintah ternyata bukan berdampak baik bagi rakyat Indonesia, malahan berdampak buruk dengan semakin nyata dan jauhnya kesejahteraan yang di impi-impikan. Bukan hanya itu, hebatnya lagi, pemerintah mampu menekan ide-ide perlawanan dalam kebudayaan rakyat menjadi menghamba pada kapitalisme. Hal ini tidak berbanding lurus dengan kondisi yang mencerminkan kesadaran massa rakyat sesuai dengan kondisi objekti kehidupannya[1]. Seharusnya kemiskinan akan menimbulkan kebudayaan yang berlawan dan berjuang.

Selama 32 tahun lebih rakyat di jejali dengan konsep dan ide “nurut”. Dalam tempo waktu yang sekian lama itu, sudah cukup mengecilkan budaya perlawanan yang telah dibangun oleh soekarno. Rakyat dibuat miskin tentang ide perlawanan. Kondisi tersebut memberikan pengaruh terhadap kelemahan gerakan rakyat. Alhasil, akyat dijauhkan dari kesadaran perlawanannya. Walaupun tak dapat dipungkiri aksi massa/ demonstrasi telah menjadi budaya perlawan rakyat.
Hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Perlu ada gebrakan dari kekuatan demokratik yang berlawan untuk terus berjuang menekan dan membangkitkan semangat perlawanan rakyat. jika tidak demikian, kelemahan konsep perjuangan akan menghambat persatuan dalam gerakan rakyat itu sendiri.
Pasca jatuhnya rezim orde baru, ruang demokrasi semakin terbuka. Meski tidak sepenuhnya terbuka karena sisa-sisa orde baru dan militer yang bangkit kembali dengan pencitraan “pahlawan” nya. Upaya untuk membuka seluas-luasnya celah demokrasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok demokratik hingga sekarang masih dihambat oleh maraknya milisi sipil bentukan penguasa.
Capaian maju dari gerakan rakyat 1998 adalah terbukanya ruang demokrasi, meskipun belum sepenuh-penuhnya. Kehendak objektifnya (yang keharusan) adalah memuarakan arah pada demokrasi sejati, yang sesungguhnya. Kesejatian demokrasi memiliki pra-syarat khusus yang harus dipenuhi, dimana pra-syarat tersebut menjadi landasan pijak/instrumen untuk melabuhkan demokrasi menuju muaranya, yaitu demokrasi yang berwatak dan berkarakter kerakyatan. Kini, pelaksanaan demokrasi––di manapun––

ditentukan oleh hegemoni kekuasaan kapitalisme yang memiliki sistem (aturan) ekonomi-politik dan ideologinya sendiri, secara subjektif. Padahal, dalam ruang kekuasaan tersebut terdapat objek-objek penerima demokrasi yang (seharusnya) menjadi sandaran bagi demokrasi itu sendiri, demokrasi yang baik kepada rakyat. Itulah kiranya mengapa demokrasi membutuhkan pra-syarat agar berkembang baik. Pra-syarat tersebut adalah partisipasi sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya individu/warga masyarakat secara sadar. Karena warga (rakyat) adalah objek (sandaran) demokrasi.
Benar bahwa tuntutan demokrasi belum selesai, masih menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi gerakan rakyat pro demokrasi sejati. Jangankan penuntasan demokrasi, agenda reformasi saja tak pernah tuntas. Upaya reformasi birokrasi (penegakan HAM, kasus korupsi, diskriminasi, dll) misalnya, tak sanggup diselesaikan rezim sesudah kediktatoran orba tumbang, yang kesemuanya merupakan aktor pengkhianat tuntutan reformisnya sendiri. Itu menandakan bahwa borjuasi tak pernah setia dengan tulus membela demokrasi sejati, jangankan membela rakyat, bahkan tuntutan borjuis sendiri pun tak benar-benar tulus ia perjuangkan.
Dalam makna politik, jalan keluar dari semuanya adalah rakyat harus menggunakan kekuatannya sendiri, penuh keberanian, dengan alatnya yaitu persatuan gerakan rakyat yang mandiri.

Kesejahteraan hanya impian
Sejak masa orde baru, kepentingan pokok dari kaum imprialis terhadap negeri seperti Indonesia adalah sebagai seumber bahan baku utama sekaligus energy bagi industry modern di negeri-negeri imprialis utama. Yang untuk itu, mereka tega menukarnya dengan darah jutaan rakyat dan penutupan ruang demokrasi selama 32 tahun plu pembodohan dan pemiskinan massal.
dalam berbagai pertarungan kaum buruh melawan pengusaha dan atau pemerintah, kaum buruh Indonesia pernah mengalami kekalahan telak, yang paling telak adalah disahkannya UU Ketenagakerjaan pada tahun 2003 (UU/13/2003) lalu UU Peradilan Hubungan Industrial (UU 2/2004),
Kaum buruh Indonesia harus lebih mengelu dada saat ini. Pemerintah kembali menunjukan ketidakberpihakannya kepada kaum yang merupakan penduduk mayoritas Negara kita tersebut.
Apa daya, bukannya menaikan derajat hidupnya oleh pemerintah. Sampai sekarang tidak ada kebijakan ataupun tindakan konkrit pemerintah dalam melayani rakyatnya menuju kesejahteraan. Malahan mensahkan UU Kawasan Ekonomi Khusus, dimana sebuah kawasan industri tertentu dapat menerapkan aturan tersendiri demi kepentingan investor.
Terlihat jelas hingga hari, garis ekonomi-politik yang dijalankan (dan akan dilanjutkan lagi) oleh Rezim yang berkuasa adalah garis ekonomi-politik kapitalisme/neoliberlisme, dengan pokok-pokok kebijakan[3]:
1. KEKUASAAN PASAR. Membebaskan usaha "bebas" atau usaha swasta dari ikatan apa pun yang diterapkan oleh pemerintah (negara) tak peduli seberapa besar kerusakan sosial yang diakibatkannya. Keterbukaan yang lebih besar bagi perdagangan internasional dan investasi, seperti ACFTA. Menurunkan upah dengan cara melucuti buruh dari serikat buruhnya dan menghapuskan hak-hak buruh yang telah dimenangkan dalam perjuangan bertahun-tahun di masa lalu. Tidak ada lagi kontrol harga. Secara keseluruhan, kebebasan total bagi pergerakan kapital, barang dan jasa. Untuk meyakinkan kita bahwa semua ini baik untuk kita, mereka mengatakan bahwa "pasar yang tak diregulasi adalah cara terbaik meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya akan menguntungkan semua orang." Itu seperti ekonomi "sisi persediaan" (supply-side)dan "tetesan ke bawah" (trickle-down) yang dijalankan Reagan -- tapi kekayaannya sedemikian rupa tidak banyak menetes.
2. MEMANGKAS PEMBELANJAAN PUBLIK UNTUK LAYANAN SOSIAL seperti pendidikan dan layanan kesehatan. MENGURANGI JARINGAN-PENGAMANAN BAGI KAUM MISKIN, dan bahkan biaya perawatan jalanan, jembatan, persediaan air -- lagi-lagi atas nama mengurangi peran pemerintah. Tentunya, mereka tidak menentang subsidi dan keuntungan pajak bagi bisnis besar.
3. DEREGULASI. Mengurangi regulasi pemerintah terhadap segala hal yang dapat menekan profit, termasuk perlindungan lingkungan hidup dan keamanan tempat kerja.
4. PRIVATISASI. Menjual perusahaan-perusahaan, barang-barang, dan jasa milik negara kepada investor swasta. Ini termasuk bank, industri kunci, perkereta-apian, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Walau biasanya dilakukan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang sering dibutuhkan, privatisasi terutama berdampak pada pengonsentrasian kekayaan kepada pihak yang jumlahnya semakin sedikit dan menjadikan khalayak umum harus membayar lebih untuk kebutuhannya.
5. MENGHAPUS KONSEP "BARANG PUBLIK" atau "KOMUNITAS" dan menggantikannya dengan "tanggung-jawab individu." Menekan rakyat yang termiskin dalam masyarakat untuk mencari solusi sendiri terhadap minimnya layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan sosial mereka -- kemudian menyalahkan mereka, bila gagal, karena "malas"[4].




Apa yang harus dilakukan?

“Saya telah meletakkan keyakinanku di sudut kesadaran yang akan muncul ketika ada kebijakan yang berusaha menindasku.” (ALEXANDRA KOLLONTAI)
Secara obyektif potensinya besar untuk bisa bermuara pada mobilisasi politik yang luas dan politis, akan tetapi hambatan-hambatan di dalam gerakan masih sulit untuk mewujudkan kebutuhan obyektif tersebut. Fragmentasi dan berserakannya gerakan semakin luas. Penyebabnya, tentu saja, tak adanya keyakinan atas bersatunya kekuatan pelopor yang terorgansisasikan dengan baik dapat memimpin perjuangan politik massa.
Dengan situasi di atas, wajar ke depan perlu dibangunnya persatuan kekuatan rakyat mandiri dengan menyusun kuda-kuda bagi perjuangan jangka panjang. Dengan konsep, program, dan metode yang yang jelas dan mengarah kepada lesejahteraan rakayat mayoritas.
Tidak ada pilihan lain bagi rakyat mayoritas selain menganti system Kapitalisme dengan sebuah sistem ekonomi yang berpihak pada pada mayoritas rakyat(sosialisme) hanya dapat terwujud jika kekuasaan politik berada ditangan rakyat, sebab dengan kekuasaan politik (yang demokratis) ditangan rakyat, seluruh persoalan ekonomi dapat dipecahkan, dicarikan jalan keluarnya dengan partisipasi penuh rakyat, bukan lagi sekedar segelintir elit.

Dan untuk membentuk kekuasaan rakyat, membentuk pemerintahan rakyat, tidak ada pilihan bagi mayoritas rakyat Indonesia, bagi kaum buruh Indonesia, untuk mulai membangun organisasi-organisasi perjuangan yang militant, organisasi-organisasi perjuangan yang sadar, hanya sosialismelah jalan keluarnya.

Ambil,baca, dan lawan..

3.Apa Neoliberalisme Itu? Definisi Singkat Bagi Aktivis; Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia
4.Dalam artikel “Landasan pembangunan serikat buruh yang militant”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar