Powered By Blogger

Rabu, 29 Desember 2010

SITUASI INTER NASIONAL dan SITUASI NASIONAL

- Secara ekonomi-politik; bahwa krisis finansial dunia beberapa dekade ini telah merontokkan banyak lembaga keuangan (termasuk bank-bank investasi) berikut potensi modal yang sudah ‘mapan’, dan memacetkan sirkulasi capital yang (tentunya; dalam porsi lebih besar) ditanam di sektor non-riil (obligasi, portofolio, SUN, dll).

- Krisis paling kontemporer terjadi tahun 2008—penyebabnya: ketidaksesuaian harga dan barang yang beredar (credit default-nya sub-prime mortgage), jaminan swap (tukar-menukar) / jaminan perlindungan dari AIG (American International Group) dan rendahnya deposito masyarakat. Jalan keluarnya adalah: Baillout—mengemis (kembali) pada negara!

- Ternyata, akumulasi/sengkarut masalah ekonomi global sudah tak sanggup lagi diselesaikan di Negara-negara induk kapitalisme (AS, Eropa—eropa timur, Yunani, Spanyol, Portugal, Jerman, AS, Inggris, dll). Gelembung modal (perdagangan non-riil) menyeret sistem keuangan dunia menuju kehancuran, para trader mata uang panik, pakar neo-liberal tak percaya diri.

- Out flows capital. Massifikasi pembukaan pasar baru adalah strategi neoliberal menunda krisis. Mereka butuh pasar untuk melarikan gelembung financial di negerinya masing-masing. Pasar tersebut adalah negara-negara miskin dan sedang berkembang (namum memiliki potensi alam besar dan jumlah manusia/konsumen yang banyak). Pelarian modal dibutuhkan untuk memulihkan ekonomi mereka, karena, modal bermasalah dalam negeri besar tersebut sulit diputar lagi, kalaupun bisa hanya minim laba, namun tinggi resiko (low profits, high risk).
-Instrument yang dipakai: dengan cara membangun blok-blok regional ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN China FTA (ACFTA), ASEAN Korea FTA (AKFTA), ASEAN Australia dan New Zealand (AANZ-FTA), ASEAN India FTA (AIFTA), ASEAN Jepang CEP (AJCEP), Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), INDONESIA-PAKISTAN; di bawah kontrol IMF, WB, ADB, dll.

- Hingga, pada sebuah kesimpulan bahwa, neoliberalisme (sebagai ideologi ekonomi seutuhnya) sudah dicampakkan oleh negri-negri besar tersebut (inkonsistensi). Bahkan, di eropa sendiri, neoliberal tidak pernah diterapkan, ia hanya berlaku sebagai strategi pasar (ekspansi).



Indonesia
Tentang ekonomi-politik

- Bangsa “kasihan” ini menjadi salah satu target dari perluasan pasar financial itu. Kenyataan lemahnya borjuasi dan kontrol rakyat. Apakah ada borjuasi ‘progresif’ saat ini? Tidak ada! Progresif dalam makna seperti terbentuknya borjuasi eropa hingga menjadi sekarang ini. Suprastruktur feodalisme sanggup ditumpas oleh cikal bakal borjuasi—revolusi borjuis.

- Pelarian gelembung modal (krisis) di Negara berkembang; investor, secara besar-besaran mengucurkan dananya. Memanfaatkan Negara sebagai tulang punggung beroperasinya pasar yang sedang macet. Pemerintah (SBY-Boediono dan parlemen), pengusaha, elit dan partai politik, bukannya mengamankan sector riil dan perbankan, malahan terang-terangan berkomitmen melapangkan jalan bagi investasi. Penjualan besar-besaran asset/kekayaan Negara—dijual murah.
- Yang diserang pertama kalinya adalah hukum dan politik. Akibatnya, liberalisasi UU dan sistem politik menjadi massif. Kolaborasi pemerintah vs pengusaha menyebabkan runtuhnya sektor riil, rendahnya tenaga produktif (yang sebelumnya memang sangat susah berkembang).

- Tidak hanya memiskinkan rakyat, elit politik busuk negeri ini, juga mulai mempersempit demokrasi dan mengkhianati buti-butir minimum refomasi 98. Lihat saja:
a. Tak ada satu pun penuntasan pelanggaran HAM ( Trisakti, Semanggi I dan II, Haur Koneng, 1965, Tanjung Priok, dll) dan Kasus Korupsi Soeharto dan kroni-kroninya diselesaikan.
b. Pembubaran Komando Teritorial Militer (KODAM, KODIM, KOREM, KORAMIL, BABINSA) sebagai simbol Dwifungsi TNI/POLRI, sama sekali tak terjadi, justru semakin bercokol dan bahkan diperluas di beberapa provinsi.
c. Mulai membungkam demokrasi, kebebebasan berpendapat dan berekspresi, hal itu ditunjukkan dengan UU Kebebasan Informasi, RUU Rahasia Negara, RUU Penyiaran, UU Pers, RUU Intelejen Negara, UU Pornografi, Union Busting, ataupun bahkan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung.
d. Dalam hal kesejahteraan, kebutuhan pokok semakin melambung tinggi, dan lapangan kerja semakin menipis karena bangkrutnya perusahaan, pertanian, perkebunan karena Liberalisasi Ekonomi.

- Sementara itu, pertarungan para koboi dalam gelanggang parlemen semakin membelah banyak kubu yang membawa kepentingan masing-masing untuk mengincar jabatan. Powersharing yang dilakukan SBY-Boediono (beserta partai koalisinya) cukup ‘berhasil’ meredam musuh, setidaknya bisa memperlambat tersudutnya pemerintahan. Itu terbukti dengan amannya pemerintahan meskipun kasus Bank Century begitu panas bahkan mengarah pada wacana impeachment terhadap SBY-Boediono. Lihat saja kasus KPK dan pemberantasan korupsi yang tebang pilih. Dari awal dibentuknya hingga kini, ternyata KPK menjadi sangat politis dan selalu menyesuaikan dengan alur nada yang dominan dalam peta politik. Apalagi ditambah dengan politisasi pemilihan struktur KPK, pengutamaan pengungkapan kasus yang hanya menguntungkan pemerintahan terpilih, dan tak bisa dijaminnya pejabat komisi ini bersih dari kasus masa lalu, karena pada umumnya para pejabat KPK tersebut berasal dari institusi bobrok semacam kejaksaan, kepolisian, kehakiman dan sebagian pengacara.
Misal, pemberantasan korupsi oleh pemerintah secara massif hanya diarahkan kepada musuh politiknya (yang sama jahatnya) seperti Golkar, PDI-P, dll hingga menyeret kadernya ke meja hijau, bahkan ancaman masuk bui, hal ini tentu merugikan kedua partai tersebut. Kemudian terkuaklah kasus Century. Isu tersebut dijadikan sebagai penguatan posisi politik partai “oposisi gadungan” sebagai alat mengancam pemerintahan dengan konsesi agar tidak terlalu bersemangat menangkap koruptor dari fraksi Golkar, PDI-P, dll yang menjadi musuh politiknya pemerintah. Dan terbukti cukup efektif. Kasus Century makin kabur, koruptor bebas dari jerat hukum. Dan rakyat masih percaya akan ‘ketulusan’ KPK.
- Demokrasi terancam—terjadi penyempitan ruang demokrasi; penyempitan ruang demokrasi saat ini tidak bisa disamaratakan dengan masa kediktaktoran Orde Baru, terlebih secara politik-ekonomi tak ada sama sekali Borjuasi yang dominan.

- Faktor utama tidak adanya Borjuasi yang dominan di negeri ini adalah:
a. Paska 98 ada kesadaran anti militerisme yang melekat.
b. Rakyat semakin tidak percaya Reformis Gadungan dan Sisa-Sisa Orde Baru sanggup mensejahterakan. Akibatnya, semakin mengecil pengaruh politik elit politik busuk ini di hadapan rakyat (ditunjukkan dengan meningkatnya Golput dalam pemilu 2004 dan 2009).
c. Dominasi modal yang semakin besar dikuasai oleh korporasi internasional, sedangkan perusahaan yang dikuasi borjuasi nasional semakin lumpuh dan terpuruk, tentu karena rendahnya tenaga produktif mereka (borjuasi nasional kalah menghadapi asing).
d. Meskipun jumlah suara Partai Demokrat paling besar, dan apalagi berhasil mengkonsolidasikan Koalisi Nasional, pada kenyataannya, SBY-Boediono tidak sanggup mengontrol aksi gertak dan cari muka partai anggota Koalisi, yang sesungguhnya sekedar mencari posisi tawar lebih tinggi dan pembagian jatah lebih banyak.

- Jadi, baik secara politik dan ekonomi, sama sekali tak ada Borjuasi yang dominan di negeri ini. Oleh karena itu, tugas perjuangan demokrasi dan kesejahteraan saat ini adalah: Menghancurkan Dominasi Dan Hegemoni Imperialisme, Rezim SBY-Boediono dan Elit Politik Busuk Penghianat Reformasi melalui PERSATUAN dan MOBILISASI RAKYAT.

- Tahap kesadaran rakyat yang berkembang;
a. Kepercayaan rakyat terhadap elite politik dan parpol sangat rendah (lihat data angka pasrtisipasi pemilu 2009).
b. Terdapat perlawanan-perlawanan spontan rakyat (yang bersolidaritas) baik itu perlawanan yang diekspresikan dengan mendukung tindakan personal ataupun akibat dizaliminya seseorang oleh negara.
Missal: dukungan luas atas tindakan heroik Pong Harjatmo yang melakukan aksi pencoretan atap gedung DPR/MPR, dukungan luas dan melibatkan banyak orang atas Bibit-Chandra (murni pertarungan politik kekuasaan), membuncahnya kebencian hampir seluruh rakyat terhadap buruknya kinerja DPR (kemarahannya beragam, baik karena kebijakan yang dihasilkan tidak pro-rakyat hingga terlambat datang rapat dan tidur saat rapat dewan), meluasnya aksi massa atas isu Bank Century yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok ‘oposisi gadungan’ dalam parlemen sebagai batu loncatan agar berkuasa, yang terdahulu ada juga aksi pengumpulan koin untuk Prita Mulyasari yang dizalimi pihak rumah sakit, dll, berupa kemarahan rakyat dari berbagai spektrum dan kadar yang bermacam-macam.
- Itu adalah modal awal bagi penilaian sejauh mana rakyat tanggap politik, sebagai landasan penilaian ketepatan program dan stratak. Tinggal bagaimana gerakan rakyat (mandiri) bertanggung jawab agar kemarahan rakyat tidak terhambat atau dikanalisasi oleh moralitas (subjektif), hanya sebatas ekonomisme dan politis alakadarnya.

- Jikapun sentimen anti elitnya tinggi (politis), kebanyakan dari mereka yang memiliki kesadaran seperti itu (sebagian) terperangkap dalam wacana-wacana elite yang “beroposisi” terhadap pemerintah. Hal itu merupakan evaluasi besar dari belum munculnya gerakan alternatif, sehingga, seolah-olah rakyat tak bisa lagi melihat ada alternatif lain di luar unsur yang sudah ada. Problem ketiadaan alternativ tersebut diperparah dengan masuknya sebagian gerakan rakyat ke dalam arena (mekanisme) borjuis. Hal ini semakin membingungkan rakyat terhadap makna.

- Kenyataan masih lemahnya kekuatan gerakan. Persatuan-persatuan demokratik dan maju, belum begitu sanggup mengisi kekosongan propaganda alternative bagi rakyat, meskipun ada beberapa konsolidasi-konsolidasi, namun masih ‘berserak’. Sehingga belum menemukan relevansinya menjadi pusat persatuan yang strategis, dan tangguh (beragitasi-propaganda-mewadahi).

-Sinyo Mahakam-
tulisan ini diposting dari ARAH edisi II

Tidak ada komentar:

Posting Komentar