Powered By Blogger

Rabu, 24 November 2010

Gambaran Umum Perempuan Buruh Indonesia

Buruh, Bekerja tapi Tetap Miskin
Sebanyak 52,1 juta orang atau hampir 55% dari orang yang bekerja di Indonesia, hidup dalam kemiskinan. Pendapatan mereka tidak lebih dari US$2 per hari. Ikhtiar yang mereka lakukan tidak berbuah manis. Bekerja, tapi tetap miskin.
Data itu mengacu ke perhitungan yang dilakukan oleh Organisasi Perburuhan International (ILO) tahun 2008. Organisasi itu memperkirakan jumlah pekerja miskin di Indonesia mencapai 52,1 juta orang pada 2006, hanya turun tipis dibandingkan dengan 52,8 juta orang pada 2002. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini tercatat sekitar 102 juta pekerja (2008).
Apabila kriteria orang miskin diubah menjadi orang yang berpendapatan di bawah US$1 atau Rp9.000 per hari, jumlah pekerja miskin memang turun tajam. Dengan kriteria miskin US$1 itu, jumlah pekerja miskin di Indonesia memang hanya 7,9 juta atau 8,2% dari total jumlah pekerja. Kriteria inilah yang dipakai negara untuk mengukur orang miskin (padahal tak ada satu manusiapun bisa hidup dengan Rp. 9000 per hari).
Kee Beom Kim, Labour Economist ILO, mengumpamakan dari 100 orang usia kerja (berusia 15 tahun ke atas) di Indonesia, delapan orang berpenghasilan di bawah US$1 per hari dan 55 orang memiliki pendapatan kurang dari US$2 per hari.
ILO mencatat produktivitas pekerja di Indonesia tumbuh rata-rata 4,3% per tahun dalam periode 2000 hingga 2007. Produktivitas pekerja paling tinggi terdapat pada sektor industri manufaktur (pengolahan), sedangkan yang paling rendah di sektor pertanian. Rata-rata produktivitas pekerja di sektor industri dalam sebulan sama dengan rata-rata nilai produktivitas yang dihasilkan pekerja di sektor pertanian dalam tujuh bulan.
ILO juga mencatat dalam kurun waktu 2003 hingga 2007, rata-rata upah nominal pekerja di Indonesia memang mengalami kenaikan. Namun, upah riil pekerja dalam empat tahun terakhir itu stagnan. Daya beli pekerja terus tergerus inflasi yang membuat biaya hidup merangkak naik. Dari sekitar 35 juta pekerja di sektor formal saja, lebih dari 80% harus nombok. Gaji mereka tidak mencukupi untuk bisa membiayai konsumsi inti yang layak yang diperkirakan minimal Rp3,5 juta per bulan
Nasib Perempuan Buruh
Jumlah kaum perempuan di Indonesia diperkirakan mencapai 50,3% dari 238,452,952 total penduduk. Menurut data SAKERNAS 2007, dari jumlah angkatan kerja 106.28 juta orang, 38,61 juta orang adalah perempuan. Berdasarkan sensus tahun 2003, sekitar 60% dari total perempuan Indonesia dipaksa menjadi tulang punggung ekonomi keluarga mereka. Bila diurai, jumlah perempuan yang berusaha sendiri berkisar antara 32-34%; yang berusaha sendiri dengan bantuan anggota keluarga atau buruh tak tetap berkisar antara 21-26%; yang menjadi buruh sekitar 31-32%, sementara yang menjadi pekerja tidak dibayar jumlahnya antara 68-73%.
Tidak semua perempuan dapat membuka lapangan kerja bagi dirinya sendiri, sementara negara tidak pernah menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup & layak bagi laki-laki dan perempuan di negeri ini. Ada kalanya kaum perempuan memiliki peluang yang lebih besar untuk mengakses pekerjaan tertentu, daripada laki-laki. Yaitu, antara lain, dengan menjadi buruh murah di kantong-kantong industri, ataupun menjadi pekerja rumah tangga.
Masalah-masalah Perempuan Buruh
Berikut adalah tabel penggolongan masalah-masalah perempuan buruh:
Masalah Buruh Perempuan
Kasus
Masalah
Lingkungan Kerja
Fasilitas kamar mandi/WC tidak memenuhi standar kesehatan
Fasilitas penerangan tidak baik
Petugas kesehatan tidak ramah
Fasilitas ruang makan tidak tersedia
Fasilitas umum yang diskriminatif
Hak Buruh dan Hak Berorganisasi
Buruh tidak mendapat perlindungan dari perusahaan
Jaminan kesehatan, kebebasan memilih kerja lembur, perlindungan dari pelecehan seksual tidak ada.
Dominasi laki-laki dalam Perwakilan Unit Kerja (PUK) dan Serikat Pekerja (SP)
Beban peran ganda untuk berorganisasi
Perusahaan menghambat secara sistematis kegiatan organisasi pekerja
Buruh memasuki organisasi serikat pekerja jika terlibat masalah atau punya kepentingan
Representasi buruh perempuan dalam organisasi serikat pekerja sangat rendah
Pertemuan organisasi serikat pekerja malam hari menghambat partisipasi buruh perempuan
Upah, Tunjangan, kerja, dan kerja lembur
Penghitungan upah lembur tidak transparan
Upah tidak setara dengan laki-laki

Tidak ada insentif bagi pekerja yang berhasil memenuhi target produksi
Upah tidak sebanding dengan kebutuhan hidup sehingga terpaksa kerja lembur
Jam kerja yang melewati batas waktu sering tidak mendapat kompensasi
Diberi waktu maksimum 5 menit untuk buang air kecil/besar
Posisi kerja berdiri 7 jam yang melelahkan
Tunjangan keluarga tidak diberikan
Lebih mudah di PHK
Menu makan siang kurang bermutu
Kesehatan Reproduksi dan Pelecehan Seksual
Cuti hamil sering dipermasalahkan
Hak cuti haid dan melahirkan tak diberikan
Aparatus perusahaan menganggap pelecehan seksual sebagai hal sepele
Tidak tersedia fasilitas memadai untuk buruh yang hamil

Masalah-masalah tersebut di dalam kehidupan kerja sehari-hari dapat digambarkan seperti berikut:
Atin, Ela, Marbun, Sanik, dan banyak perempuan buruh lainnya harus selalu siap “meluangkan waktu” untuk kerja lembur di malam hari. Mereka sulit menampik untuk tidak kerja lembur. Tuntutan perusahaan dan mahalnya biaya hidup (apalagi di perkotaan) membuat buruh semakin sulit menghindari kerja lembur. Namun, dalam kerja lembur itu pun tidak jarang muncul kasus ketidaksesuaian antara penghitungan jam lembur dan upah yang diterima. Misalnya, Ela telah bekerja lembur selama 140 jam, namun besar upah lembur yang diterimanya dihitung 100 jam. Hampir serupa dialami Sanik  yang bekerja di bagian jahit. Fasilitas penerangan sangat tidak memadai, sehingga kedua bola mata Sanik segera memerah dan cepat lelah ketika diharuskan kerja lembur.
Di samping kerja lembur, perempuan buruh juga wajib memenuhi target produksi tertentu. Mereka tidak memperoleh “insentif”. Apalagi buruh yang tidak berhasil memenuhi target produksi. Atin, misalnya, mengungkapkan bahwa buruh yang gagal memenuhi target produksi yang ditentukan perusahaan, biasanya akan dihardik atau dihukum. Sementara buruh yang berhasil memenuhi target tidak memperoleh penghargaan atau imbalan sama sekali.
Lebih sial bagi Marbun. Selain mengalami hal yang sama seperti Atin, Ela dan Sanik, ia sering mendapatkan pelecehan seksual secara verbal maupun non-verbal yang dilakukan oleh para penyelia atau satpam perusahaan. Seringkali pengurus serikat pekerja yang sebagian besar laki-laki malah meremehkan masalah itu. Perempuan buruh sendiri sulit menyelesaikan kasus tersebut, karena tak berani, malu, atau bahkan tak mengerti. Pelecehan seksual terhadap buruh perempuan yang terjadi berulang kali dianggap oleh aparatus perusahaan sebagai persoalan tidak serius.  
Untuk semua perempuan buruh, sebagian besar fasilitas kerja berada di bawah standar dan “tidak ramah” terhadap perempuan. Kondisi kamar mandi dan toilet buruh (perempuan) jauh lebih buruk dan kotor dibanding fasilitas serupa untuk aparatus perusahaan. Air kamar mandi dan toilet buruh nyaris tidak bisa dipakai untuk membasuh wajah atau membersihkan tubuh karena berbau busuk dan kotor.  Bahkan setiap hari mereka harus membawa minimal satu liter air botol untuk dipergunakan membersihkan tubuh masing-masing.
Seringkali berikat buruh atau PUK perusahaan yang didominasi kaum lelaki kerap mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan kepentingan dan memerhatikan posisi perempuan buruh. Umpamanya, rapat-rapat dan pertemuan PUK atau serikat pekerja sering diselenggarakan pada malam hari. Hal tersebut tentu menyulitkan sebagian anggotanya, terutama perempuan buruh yang telah berkeluarga. Sehingga seringkali mereka memilih untuk tidak berpartisipasi. Representasi buruh perempuan dalam organisasi-organisasi tersebut menjadi rendah dan kebutuhan perempuan yang perlu diperjuangkan pun sering dilupakan. Belum lagi peran ganda dan nilai-nilai sosial yang “menabukan” perempuan keluar malam hari. Semua itu merupakan kendala bagi buruh perempuan untuk terlibat lebih jauh dalam kegiatan organisasi serikat buruh. Bahkan tidak jarang peran ganda dianggap memicu keretakan dalam rumah tangga, saat perempuan harus meninggalkan kerja domestik untuk mengikuti pertemuan organisasi pada malam hari. Hal itu dialami buruh perempuan yang terlibat aktif dalam PUK atau serikat buruh.  
Ketidakberdayaan PUK dan SB memang tidak hanya disebabkan oleh faktor internal, tetapi juga faktor “luar”. Manajemen perusahaan melemahkan organisasi pekerja secara sistematis dengan tidak memberi perlindungan atau jaminan kepada buruh yang terlibat aktif di dalam organisasi-organisasi itu. Pihak perusahaan juga kerap menjatuhkan sanksi, mengharuskan kerja lembur, mempengaruhi bahkan melarang buruh lain untuk terlibat lebih jauh dalam organisasi pekerja. Kecemburuan di antara sesama buruh pun terbangun, sehingga buruh yang aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi pekerja akan selalu dipergunjingkan oleh buruh yang enggan terlibat dalam organisasi itu. Dengan kata lain, pelbagai bentuk intimidasi dijalankan secara sistematik oleh perusahaan untuk melemahkan peran SB.
Perempuan Buruh Kontrak
Perempuan buruh lebih dirugikan dengan pemberlakuan sistem buruh kontrak yang disahkan oleh negara melalui UU Ketenagakerjaan No 13/2001. Misalnya, kewajiban pengusaha untuk memberikan cuti dan tunjangan melahirkan bagi perempuan buruh yang sedang hamil, dengan pemberlakuan sistem kontrak maka para perempuan buruh yang hamil lebih banyak di-PHK sebelum waktu mereka melahirkan, dengan alasan sudah habis kontrak. Ini hanya menjadi alasan bagi pengusaha agar mereka dapat mangkir dari kewajibannya untuk memenuhi hak-hak sosial ekonomi para buruhnya, khususnya perempuan buruh yang hari ini menjadi mayoritas di dunia industri di Indonesia.
Buruh Tani Perempuan
Para perempuan di pedesaan banyak yang bekerja sebagai buruh tani dan buruh kebun (69,32% dari 47,67% tenaga kerja di pedesaan). Akan tetapi dalam partisipasi produksi ini, kaum perempuan juga mengalami diskriminasi. Khususnya dalam masalah pengupahan, yaitu selalu menerima upah jauh lebih rendah dari kaum lelaki untuk pekerjaan yang sama. Meskipun diskriminasi pengupahan ini tidak hanya dialami oleh kalangan perempuan pedesaan. Pada sensus 2001 diketahui bahwa secara umum di pedesaan maupun di perkotaan, laki-laki memperoleh upah sekitar 40% lebih tinggi dibanding perempuan.
Buruh Migran Perempuan
Bagi perempuan yang tidak tertampung di sektor industri dan pekerja rumah tangga, mereka dipaksa secara tidak langsung oleh negara untuk pergi mencari kerja ke luar negeri. Sensus awal tahun 2004 menyatakan bahwa buruh migran dari Indonesia yang diekspor ke negara-negara tetangga dan Arab Saudi berkisar 71.433, meskipun diduga jumlah sebenarnya jauh lebih besar dari jumlah tersebut.
Perempuan yang Didagangkan
Sementara yang lainnya terjebak dalam lingkaran setan perdagangan perempuan dan bisnis pelacuran. Setiap bulan rata-rata 30 perempuan Indonesia berusia 15-25 tahun menjadi korban perdagangan perempuan (traficking) di berbagai wilayah di Malaysia. Data Bareskrim Mabes Polri (2004) menunjukkan keadaan yang cukup signifikan angka korban perdagangan perempuan Indonesia di luar negeri, yaitu 77,46% (1999); 66,67% (2000); 72,07% (2001); 58,06% (2002); dan 53,60% (2003). Rata-rata mereka dijebak dan diiming-imingi kerja menjadi pelayan toko. Mayoritas dari para perempuan ini berasal dari desa dan tersingkir dari partisipasi produksi di pedesaan. Tidak tersedia cukup lahan dan lapangan kerja yang layak bagi mereka di desa, sehingga pergi ke kota atau ke luar negeri merupakan pilihan yang harus diambil.
Mengapa Masalah Lebih Banyak Menimpa Perempuan?
Semua masalah ini lebih jahat menghantam perempuan karena perempuan dianggap sekadar sebagai koncowingking, pendamping laki-laki (suami), warga negara kelas dua, petugas di dapur-sumur-dan kasur, atau dengan kata lain: perempuan dianggap lebih rendah peran, posisi, dan haknya dari laki-laki. Inilah yang disebut ketidakadilan jender.
Apa itu Jender?
  • Pengertian: jender adalah cara berpikir masyarakat yang membedakan peran, posisi, dan hak antara laki-laki dan perempuan. (Catatan: asal usul darimana dan bagaimana cara berpikir ini lahir akan kita bahas kemudian dalam materi-materi selanjutnya)
  • Pembagian peran berdasarkan jender
Ø  Pekerjaan. Laki-laki dianggap sebagai pekerja produktif yaitu pekerja yang dapat memberikan nilai tambah bagi suatu benda, sedangkan perempuan sebagai pekerja reproduktif yaitu pekerja yang menjamin pengelolaan dan reproduksi angkatan kerja;
Ø  Wilayah kerja. Laki-laki dianggap sebagai pekerja publik sedangkan perempuan sebagai pekerja domestik;
Ø  Status. Laki-laki dianggap sebagai subyek/aktor utama sedangkan perempuan sebagai obyek atau aktor tambahan;
Ø  Sifat. Laki-laki dilekati dengan atribut maskulin seperti kuat berani, kasar, gagah, tegas sedangkan perempuan dianggap feminim, seperti cengeng, manja, lemah, lembut, halus, sopan.
  • Bentuk-bentuk ketidakadilan jender
Ø  Marginalisasi adalah penyingkiran yang terjadi pada perempuan dibidang ekonomi, sosial, budaya, politik maupun hukum;
Ø  Subordinasi artinya penaklukan atau diposisikan setelah/di bawah kaum lelaki;
Ø  Streotip negatif yaitu pelebelan negatif terhadap perempuan, seperti cengeng, penggoda, sumber kriminalitas yang berujung pada berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan;
Ø  beban ganda, dimana kesempatan bagi perempuan untuk bekerja diluar rumah ternyata tidak mengurangi tanggungjawabnya sebagai pekerja domestik;
Ø  kekerasan terhadap perempuan, dapat berupa kekerasan secara verbal (kekerasan fisik) maupun non verbal (kekerasan secara psikis).

Bagaimana Mengatasinya?
Semua masalah di atas seolah-olah menjadi sebuah kebiasaan yang entah darimana datangnya, atau memang sudah dari sononya. Padahal, dari data-data mengenai sejarah perjuangan buruh (perempuan) dan rakyat di Indonesia dan di dunia, buruh dan perempuan buruh pada khususnya, tidak selamanya mengalami nasib demikian. Artinya, masalah-masalah tersebut dapat diatasi.
Untuk mengatasi semua masalah tersebut, pertama-tama, kaum perempuan harus mengerti bahwa semua itu adalah MASALAH YANG HARUS DILAWAN, bukannya takdir yang tak bisa dirubah. Setelah mengerti bahwa semua itu merupakan masalah, maka kedua, kawan-kawan perempuan harus BERKUMPUL dan BERORGANISASI. Bagi perempuan buruh, serikat buruh adalah organisasi paling penting yang menjadi ujung tombak perjuangan hak-hak buruh.
Buruh yang tak berserikat akan semakin ditindas. Buruh yang ada di dalam serikat-serikat pro pengusaha juga akan tetap tertindas. Apalagi bagi perempuan buruh, serikat buruh adalah alat perjuangan paling penting di dalam pabrik untuk memperjuangkan hak-hak perempuan buruh. Serikat buruh yang tidak memperdulikan hak-hak perempuan, dan membiarkan masalah-masalah di atas terus menimpa kaum perempuan, bukanlah serikat buruh yang tepat bagi perempuan buruh. Serikat buruh yang belum mengerti akan hak-hak perempuan buruh harus terus didorong belajar untuk membela hak-hak perempuan buruh.
Kaum perempuan buruh harus mengambil bagian paling depan di dalam pabrik untuk berserikat, karena kaum perempuan buruhlah yang paling banyak mendapatkan masalah-masalah pekerjaan dibandingkan kaum laki-laki buruh. Persatuan kaum perempan buruh, bersama-sama kaum laki-laki buruh di dalam serikat buruh yang memperjuangkan hak-hak perempuan, adalah kekuatan maha dasyat yang menjadi satu-satunya harapan bagi perubahan nasib buruh di pabrik.
Persatuan seluruh kaum perempuan dan laki-laki, yang memperjuangkan perubahan nasib perempuan dan rakyat miskin di negeri ini, adalah senjata utama bagi perubahan nasib rakyat dan kaum perempuan miskin di negeri ini.
_________
Diolah dari beberapa sumber berikut ini:
1.       Women Research Institute: Buruh Perempuan dan Relasi Industrial ;
2.       Diana Apriyanti, S.E: Situasi Umum Perempuan Indonesia.
3.       Yeni H. Simanjuntak: Bekerja, tapi Tetap Miskin, 22 Agustus 2008.

Oleh: Zelly Ariyane
KOMITE NASIONAL PEREMPUAN MAHARDIKA  
Seri Pendidikan Perempuan Buruh Tingkat Dasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar