Powered By Blogger

Minggu, 21 November 2010

Korporatokrasi, Menyempurnakan Negara Sebagai Pengabdi Perusahaan



Oleh: Danial Indrakusuma


Di semua tempat, apakah itu dalam kebudayaan popular, hingga sistim propaganda, terdapat tekanan terus menerus agar orang merasa bahwa dirinya tak bisa ditolong lagi, bahwa peran mereka hanyalah menyetujui segala keputusan dan melahapnya—Chomsky.
Hambatan sesungguhnya bagi produksi kapitalis adalah kapital itu sendiri—Marx.

Landasan-Pijak Teoritik Korporatokrasi
Bila saja Marx masih hidup, ia mungkin akan tercengang menyaksikan kreativitas borjuis dalam mendayagunakan negara demi kepentingannya ; Hamza Alavi tentu akan maklum atas semakin sempitnya ruang otonomi relatif negara di tengah semakin rentannya sistim kapitalisme (negeri-negeri maju) terhadap krisis (yang dampak gelombangnya semakin mendunia) ; dan bila saja Richard Robison mempertimbangkan dari mana sumber dana dan kebijakan negara (Orde Baru), maka tentu ia tak akan berposisi: negara (Orde Baru) mampu “menciptakan” kelas (di Indonesia)?
Kadang korporatokrasi (corporatocracy) sering dikaitan dengan gerakan anti-globalisasi, mungkin karena terkesiap atas gejala bagaimana pemerintahan (terutama) negeri-negeri berkembang tunduk pada kepentigan-kepentingan perusahaan-perusahaan besar/transnasional. Misalnya saja, John Omaha, Phd, menyimpulkan bahwa perang Irak dicetuskan oleh perusahaan-perusahaan yang telah berhasil menguasai negara (dan segala kelembagaannya) republik demokratik Amerika—yang sekarang telah menjadi korporatokrasi.
Perusahaan-perusahaan dianggap memiliki kekayaan yang begitu besar sehingga bisa menyuap, menyusup dan menguasai pemerintahan di berbagai negeri. Bahkan, ia sanggup mengemudikan eksekutif, media-media terkemuka, legislatif, dan lembaga-lembaga hukum, menyatukannya ke dalam suatu unit yang berentang-dunia yang dinamakan korporatokrasi. Fokus dari tujuannya hanya satu, tak terbagi : perusahaan—keuntungan harus maksimal; sumber daya alam, segala kelembagaan, warga negara, harus digunakan (atau disingkirkan bila tak diperlukan lagi) demi memaksimalkan keuntungan; perusahaan harus memiliki pasar-pasar baru untuk dikuasai; dan, bila perlu, perusahaan-perusahaan yang memproduksi peralatan militer harus memiliki pasar serta menyesuaikannya dengan penaklukkan negeri-negeri yang akan mengakumulasi keuntungan perusahaan

Bahkan, sejak akhir Perang Dunia II, perusahaan-perusahaan besar telah muncul sebagai penguasa dominan planet ini. Bank Dunia (World Bank/WB), Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) pun tak lepas dari cengkeraman korporatokrasi. [Aku lebih percaya bahwa lembaga-lembaga tersebut merupakan kreasi dari perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam korporatokrasi rahasia, bukan sekadar kesepakatan multilateral negeri-negeri kapitalis maju. Lebih jau lagi, Hannah Holleman dan R. Jonna mengatakan:
Dalam kenyataannya, pertentangan—yang tidak sekadar tercermin dalam berbagai wujud kekuasaan—justru merupakan sumber kekuasaan dalam hubungan-hubungan sosial sistim kapitalis. Dan pertentangan tersebut tidaklah dimulai dengan kelahiran lembaga-lembaga tersebut the (IMF, World Bank, WTO, GATT, dan lain sebagainya.)—dan tidak juga akan berakhir di lembaga-lembaga tersebut…]
Dikatakan bahwa korporatokrasi juga memasukkan cara-cara kriminal dalam strategi-taktiknya—membuat laporan-laporan keuangan palsu, merekayasa pemilu, menyogok, mengancam, seks, membunuh, kudeta—sebagaimana yang diungkapkan oleh John Perkins, Sang Penjagal (bidang) Ekonomi (Economic Hit Man). Contoh lainnya: Manajer-manajer perusahaan Rockefeller melakukan perdagangan BBM, melalui negeri netral Swiss, dengan musuh sekutu, Jerman. Kantor Chase Bank di teritori yang diduduki Nazi, Paris, melakukan bisnis jutaan dollar dengan musuh dan sepengetahuan kantor pusatnya di Manhattan (keluarga Rockefeller adalah salah satu pemiliknya); truk-truk Jerman yang digunakan untuk menduduki Prancis dibuat oleh Ford dengan persetujuan dari Dearborn, Michigan; Kolonel Sosthenes Behn, kepala perusahaan (konglomerat) ITT, terbang dari New York ke Madrid, lalu ke Berne, selama perang berlangsung untuk membantu mengembangkan sistim komunikasi Hitler dan bom-bom robot yang meluluhlantakan London. Bahkan ITT mengembangkan FockeWulfs, yang menjatuhkan bom-bom ke tentara Inggris dan Amerika.
Pengertian korporatokrasi di atas tidak bisa disamakan dengan korporatisme—yang mengacu pada sistim ekonomi dan politik yang dikendalikan oleh suatu badan (yang tidak dipilih secara demokratik dan memiliki hirarki internalnya sendiri) berisikan perwakilan-perwakilan dari kelompok-kelompok ekonomi, industrial, agraria, sosial, kebudayaan dan/atau professional.
Istilah korporatisme popular pada masa kekuasaan Getulio Vargas di Brazil selama tahun 1920-an dan 1930-an, saat dia memerlukan lembaga yang dapat memoderatkan pasar bebas—yang ia maknai sebagai kapitalisme modern—dengan kesejahteraan sosial. Ilmuwan politik biasa juga menggunakan istilah korporatisme untuk memaknai negara yang, dengan kekuasaannya, mewajibkan dan membuat aturan yang menyatukan pimpinan-pimpinan agama, sosial, ekonomi, atau organisasi-organisasi popular, agar dapat dikooptasi dan diredam potensinya untuk melawan kekuasaan serta mencari legitimasinya dari kekuasaan. Pada tahun 1891, korporatisme juga pernah digunakan oleh Paus Leo XIII (encyclical Rerum Novarum) sebagai wadah kolaborasi/tawar menawar antara kelas buruh dengan kelas kapitalis karena Katolik khawatir akan pengaruh ideologi sosialis terhadap serikat buruh Katolik. Dan korporatisme juga dipraktekan oleh fasis Italia (tokohnya adalah Alfredo Rocco dan Mussolini) serta rejim diktator Orde Baru (Indonesia) (tokohnya adalah Suhardiman, Ali Murtopo). Namun, pada masa-masa selanjutnya, korporatisme sering digunakan untuk meloloskan kepentingan perusahaan (dengan legitimasi negara) di atas kepentingan publik. Ada juga istilah neokorporatisme, misalnya dalam wujud kongkrit: International Labour organization (ILO); Komite Ekonomi dan Sosial Uni Eropa; pengaturan kesepakatan bersama di antara negeri-negeri Skandinavia; Kemitraan Sosial di Irlandia; Dewan Pengupahan Nasional di Singapura; dan banyak lagi. Walaupun korporatokrasi berbeda makna dengan korporatisme, namun korporatokrasi sering menggunakan unsur-unsur dalam korporatisme sebagai variabel penting dalam strategi-taktik mereka, apalagi unsur-unsur dalam dalam korporatisme (atau, misalnya, sisa-sisanya yang masih banyak berkiprah dalam serikat-serikat buruh di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto) berkarakter lemah.
Kita harus melihat korporatokrasi dari pendekatan ekonomi-politik yang historis, agar jangan sampai terjerembab pada analisa on the spot seolah-olah korporatokrasi lahir dari ruang hampa sosial—misalnya melihat korporatokrasi dari sisi sosiologis (kapitalis memerlukan wadah yang lebih struktural dan permanen untuk lobbying); dari sisi ilmu politik [korporatokrasi merupakan wadah, yang bisa saja di luar struktur negara, yang dapat menjamin kediktatoran kelas kapitalis; dan dibedakan dengan korporatisme (yang merupakan ruang di dalam struktur negara) yang masih memberikan kesempatan tarik menarik kepentingan]; atau, walaupun pendekatannya historis, korporatokrasi hanya dilihat sebagai rangkaian (kronologis) fragmen-fragmen bagaimana negara dan kapitalis bekerjasama mengorbankan kepentingan kelas pekerja atau warga negara.
Tidak, secara historis negara dan kapitalisme bukanlah dua entitas yang terpisah, negara (kapitalis) adalah anak kandung kedikatatoran (ekonomi) kapitalisme. Seperti kata Marx:
“Borjuis senantiasa makin bersemangat menghapuskan keadaan penduduk yang terpencar-pencar dari alat-alat produksinya, dan dari hak pemilikannya. Ia telah menimbun penduduk, memusatkan alat-alat produksi, dan telah mengkonsentrasikan hak pemilikan ke dalam beberapa tangan. Akibat yang seharusnya dari hal tersebut adalah pemusatan politik. Provinsi-provinsi yang merdeka atau yang tak begitu erat kepentingannya, undang-undang, pemerintah dan sistim pajak yang berlainan, menjadi terpadu sebagai suatu bangsa, dengan satu pemerintah, satu undang-undang, satu kepentingan kelas, satu bangsa, satu perbatasan dan satu tariff pabean.”
Atau seperti kata Engels:
“Negara, dengan demikian, adalah sama sekali bukan merupakan kekuatan yang dipaksakan dari luar kepada masyarakat, sebagai suatu yang sesempit ‘realitas ide moral’, ‘bayangan dan realitas akal’, sebagaimana yang ditegaskan oleh Hegel. Justru, negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; …”
Atau, lebih kongkret lagi, Marx menjelaskan bagaimana borjuis menyempurnakan negara agar sesuai dengan kepentingannya:
“Tetapi revolusi adalah radikal. Ia masih dalam perjalanannya, melewati tempat pensucian arwah. Ia melaksanakan usahanya berdasarkan suatu metoda. Sampai tanggal 2 Desember, 1851 (hari berlangsungnya kudeta Louis Bonaparte), ia telah menyelesaikan separuh dari pekerjaan persiapannya, sekarang ia sedang menyelesaikan separuh yang lainnya. Pertama-tama, ia menyempurnakan kekuasaan parlementer, agar menggulingkan kekausaan lama. Sekarang, setelah itu tercapai, ia akan menyempurnakan kekuasaan eksekutif, …”
“Kekuasaan eksekutif tersebut, dengan organisasi birokrasi serta militernya yang sangat hebat, dengan mesin negaranya yang serba rumit dan cerdik, yang meliputi lapisan-lapisan luas, dengan barisan pegawainya yang berjumlah setengah juta, di samping tentaranya yang juga sebesar setengah juta, badan yang bersifat parasit mengerikan ini, yang menjerat tubuh masyarakat Prancis seperti jala dan menyumbat segala pori-pori di kulitnya, terjadi pada masa monarki absolut saat keruntuhan sistem feodal, dan jasad parasit itu telah membantu mempercepat keruntuhannya. Revolusi Prancis, pertama-tama ia telah mengembangkan sentralisasi, ‘tetapi pada saat yang bersamaan’ ia memperluas sifat dan jumlah agen-agen kekuasaan pemerintahan. Napoleon menyempurnakan mesin negara ini. Monarki Legitimis dan Monarki Juli tidak memberikan manfaat apapun, kecuali pembagian kerja yang lebih besar. Akhirnya, dalam perjuangan menentang revolusi, republik parlementer menemukan dirinya sebagai suatu hal keterpaksaan, bersama dengan tindakan-tindakan penindasan, memperkuat sarana-sarana dan sentralisasi kekuasaan pemerintah. Semua penggulingan kekuasaan menyempurnakan mesin ini, bukan menghancur kannya…”
Dengan penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. pembentukan negara bukanlah sekadar hasil dari hasrat moral dan sebagai entitas di luar masyarakat (dipaksakan kepada masyarakat);
2. dalam perkembangan tertentu suatu masyarakat , muncul kelas borjuis yang membutuhkan—lebih tegas lagi: menciptakan—negara (borjuis) karena negara lama tak lagi bersesesuaian dengan kepentingannya;
3. pada akhir analisa, bukan negara (borjuis) yang menciptakan kelas (borjuis), tapi sebaliknya;
4. karenanya, landasan kepentingan borjuislah (konsentrasi/sentralisasi tenaga produktif, akumulasi kapital, perluasan pasar, bahkan politik) yang mendorong (keniscayaan) pembentukan, penaklukan, penyesuaian dan penyempurnaan negara (borjuis).
Dengan demikian, telaah terhadap korporatokrasi haruslah dilandasi oleh penelitian tentang:
1. sejarah perkembangan kapitalisme (maju), dan sejauh manakah (instrumen kelas borjuis) negara telah lebih sempurna melayaninya;
2. dan, saat kapitalisme (maju) tersebut merentangkan cengkeramannya secara global—sebagai suatu keniscayaan (kebutuhan untuk mengkonsentrasi/sentralisasikan tenaga produktif; mengakumulasi kapital dan meluaskan pasar)—maka sampai sejauh manakah negara (nasional) yang akan menjadi koloninya perlu disempurnakan agar sesuai dengan kebutuhannya;
3. kontradiksi negara (apa?) terhadap borjuis tentu saja mengisyaratkan, menceminkan, bahwa negara sedang dalam proses penggulingan oleh unsur-unsur revolusioner; atau hanya sedang digerogoti unsur-unsur sosial-demokrat, yang bisa saja menghasilkan reaksi balik sogokan otonomi relatif negara (dalam berhadapan dengan borjuis)—agar sistim kapitalisme secara keseluruhan tidak runtuh. ;
4. atas dasar kesejarahannya, tentu saja, negara negeri-negeri berkembang (yang kaya tenaga produktif sumberdaya alam ) akan paling tidak sempurna, tidak bersesuaian dengan negara negeri-negeri kapitalis maju;
5. Kasus bailout di negeri-negeri koloni/berkembang (misalnya, BLBI di Indonesia), atau negeri kapitalis maju (misalnya, permohonan talangan 700 milyar dollar oleh Bush kepada Kongres), substasinya sama: pada krisis kapitalisme yang sudah mendunia, maka jalan keluar daruratnya adalah (apa yang aku sebut) penyangga rapuh finansial—merampas kembali uang (sosial) kelas pekerja yang sudah diserahkan borjuis pada negara (perampokan fiskal).
Paling tidak, kelima faktor tersebut di ataslah yang akan menjadi pertimbangan kadar kekejaman korporatokrasi. Sekarang, marilah kita lihat apa makna sejarah perkembangan kapitalismenya:

Ruang hidup korporatokrasi: konsentrasi/sentralisasi tenaga produktif; akumulasi modal; perluasan pasar; dan krisis kapitalisme (global)
Bahwa perkembangan kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari pengamatan terhadap dinamika hukum-hukumnya—apakah sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Marx dan Engels; atau yang kemudian tak sempat diamatinya—karena, di dalam perkembangannya, kapitalisme dbenani oleh hukum (besi) yang melekat di dalamnya (inheren). Dalam Kesipulan Garis Besar Sketsa Evolusi sejarah, Engels mengatakan:
C. “Di satu pihak, penyempurnaan mesin-mesin, yang dirangsang oleh persaingan—yang merupakan kewajiban bagi setiap individu pemilik pabrik—diembel-embeli oleh semakin meningkatnya pemutusan hubunga kerja. Bala tentara pengangguran, atau pasukan cadangan industri. Di lain pihak, perluasan produksi tanpa batas—yang di bawah tekanan persaingan, juga merupakan kewajiban bagi setiap pemilik pabrik. Gabungan keduanya menghasilkan perkembangan tenaga-tenaga produktif yang sebelumnya tak pernah ada, kelebihan penawaran dibanding permintaan, kelebihan produksi (overproduction), banjir barang-barang dagangan di pasar-pasar…
D. Kelas kapitalis itu sendiri dipaksa secara sepihak untuk mengakui watak sosial tenaga-tenaga produktif. Lembaga-lembaga besar harus mengambilalihnya—guna kepentingan produksi dan komunikasi—pertama-tama oleh perusahaan saham-gabungan, kemudian oleh gabungan perusahaan dan, pada akhirnya, oleh negara. …”
Menurut Doug Lorimer:
“Untuk mengendalikan akumulasi kapital, menurut Marx, caranya harus mempetentangkan kapitalis dengan buruh, dan mempertentangkan buruh dengan buruh. Dan, selain itu, juga harus mempertentangkan kapitalis dengan kapitalis. Setiap kapitalis “harus tunduk pada hukum mati produksi kapitalis, hukum eksternal dan memaksa”. Karena semua daya upayanya ditujukan untuk mengakmulasi kapital, atau sekadar berfungsi dalam proses akumulasi kapital, maka mau tak mau harus berseteru dengan kapitalis lainnya.
Proses akumulasi kapital dan persaingan antar-kapitalis semakin lama akan semakin mengkonsentrasikan dan mensentralisasikan kapital ke tangan segelintir kapitalis saja, layaknya ikan besar melahap ikan kecil. …”
Perkembangan spekulasi saham dan finansial tak dapat sepenuhnya diamati oleh Marx, padahal ekonom-ekonom kiri sering melihatnya sebagai salah satu faktor yang memperdalam krisis. Misalnya saja, Engels, dalam catatan tambahan bagi Capital, Jilid III, mengatakan:
“…bursa saham masih merupakan elemen sekunder dalam sistim kapitalis, namun setelah masa itu mulai nampak perubahannya. Sekarang ini, bursa saham memegang peranan yang sangat penting dan terus menerus berkembang sehingga, kemudian, cenderung mengkonsentrasikan seluruh cabang produksi—apakah itu industri atau pun pertanian, bersama dengan seluruh perdagangannya; apakah itu alat-lat komunikasi maupun pertukaran fungsinya—ke tangan para spekulator bursa saham, sehingga bursa saham menjadi perwakilan produksi kapitalis yang sedemikian penting.”
Sedangkan menurut Allen Myers:
Namun alasan utama mengapa begitu banyak uang yang digunakan dalam spekulasi semacam itu adalah karena krisis kelebihan produksi/kelebihan kapasitas. Terlalu banyak kapital yang tidak bisa diinvestasikan kembali.
Dan menurut Castro:
Sekarang ini, dalam skala dunia, jumlah transaksi harian penjualan mata uang asing (yang langsung bisa disediakan) diperkirakan mencapai US $ 1, 5 trilyun. Jumlah tersebut tak termasuk dengan apa yang disebut sebagai operasi-operasi keuangan tambahan, yang jumlahnya kurang lebih sama. Camkan lah perbandingannya dengan jumlah total ekspor dunia dalam satu tahun, yang berjumlah sekitar US $ 6.5 trilyun, sehingga kita bisa membayangkan: betapa luar biasa besarnya jumlah transaksi moneter yang tak berkaitan dengan perdagangan nyata.
Total saham aset-aset keuangan seperti saham peusahaan dan macam-macamnya, obligasi (hutang) negara, dan lain sebagainya, naik dari 5 trilyun dollar, pada tahun 1980, menjadi 35 trilyun dollar, pada tahun 1992, dan diharapkan akan naik lagi menjadi 80 trilyun dollar, dan itu artinya tiga kali lipat nilai total barang dan jasa yang diproduksi oleh ekonomi kapitalis maju. Begitu banyaknya uang yang dispekulasikan menjadi uang, tanpa menjadi produksi riil, tanpa menjadi perdagangan nyata, sehingga bila tak diatasi akan memperbesar dan mempercepat pecahnya gelembung finansial yang mematikan produktivitas dan kemampaun daya beli masyarakat. Bahkan seorang Keynes pun percaya bahwa kebangkitan kapital finansial, sebagaimana yang terjadi pada tahun 1920-an, akan mengakhiri rasionalitas kapitalis, mengubah perusahan produktif, menjadi (dalam bahasanya) suatu “gelembung di atas pusaran-air spekulasi” .
Semua hukum-hukum tersebut, pada akhirnya (dalam siklus krisis), akan menghasilkan ekses lanjutan:
Secara tipikal, bisa disimpulkan, bahwa suatu perputaran krisis muncul akibat adanya kesenjangan antara nilai dengan harga: selama periode boom, karena harga-harga dan keuntungan meningkat, bahkan kapitalis yang paling tak efisien pun bisa menghasilkan laba. Dan karena setiap orang berupaya merebut peluang, maka terjadi kelangkaan, yang akan menyebabkan naiknya harga-harga dan keuntungan yang lebih besar lagi. Tingkat harga rata-rata meningkat lebih tinggi dan lebih tinggi lagi di atas tingkat nilai rata-rata. Akibatnya, modal yang kurang efisien akan tersingkir bersama tenaga kerja sosial yang tak bisa digunakan lagi (pemborosan).
Demikian pula, kesenjangan antara nilai dengan harga menjadi terlalu besar, sehingga tiba-tiba menyebabkan sebagian besar kapitalis tak mungkin lagi bisa mendanai biaya produksi dan menghasilkan keuntungan normalnya. Depresi/resesi klasik diatasi dengan meredam kontradiksi yang paling penting, yakni mengupayakan keseimbangan (kembali) antara nilai dengan harga—terutama melalui pernyataan pailit atau pengambilalihan perusahaan-perusahaan yang kurang efisien—atau, dengan kata lain: penghancuran kapital.
Redaksi Monthly Review percaya bahwa kapitalisme memiliki wajah yang baru: pertumbuhan yang melambat, kapital berekses, dan menggunungnya hutang. Sektor finansial ekonomi kapitalis tidak lagi sekadar diarahkan demi kebutuhan produksi, meningkatkan kesempatan kerja, dan investasi. Dimulai sejak tahun 1980-an, sektor finansial semakin menjadi bentuk otonom mata pencaharian (mencari uang), khususnya di pasar-pasar derivatif. Kecepatan pertumbuhan dan ambruknya nilai-nilai finansial menambah resiko bahkan pada kesejahteraan individual. Dan karena sektor finansial secara keseluruhan merupakan bagian yang sangat penting, maka resikonya pun akan membebani ekonomi secara keseluruhan—apalagi bank bisa meminjamkan hingga 95% dana bagi aktivitas pembelian derivatif.
Dalam kapitalisme monopoli, ekses kapasitas tidak bisa dipandang sekadar sebagai gejala temporer yang berkaitan dengan siklus penurunan bisnis. Sebagaimana yang dikatakan oleh Josef Steindl dalam tulisannya Maturity and Stagnation in American Capitalism (New York: Monthly Review Press, 1976, hal. 10-12), “kelesuan” atau “ketidakseimbangan” ekses kapasitas bisa saja “dalam makna praktis…permanen”, selalu mengekor pada kecenderungan fundamental ekonomi yang sedang menuju stagnasi.
Bahkan Bank Dunia, saat menilai Asia Timur, pun berkata:
…tak diragukan lagi bahwa hidup puluhan juta manusia akan semakin terpuruk dalam beberapa tahun ke depan. Krisis yang demikian parah sekarang ini merupakan peringatan bahwa penderitaan atas hilangnya potensi manusia tetap akan terasa selama bertahun-tahun sekalipun krisis tersebut sudah berlalu. Anak-anak yang terpaksa harus putus sekolah telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Di Indonesia, sebagai contoh, pejabat pemerintahnya melaporkan bahwa jumlah yang mendaftar sekolah menurun secara drastis, dari 78% menjadi 54%. Tekanan ekonomi telah memaksa banyak keluarga tercerai berai, memaksa gadis-gadis belia menjadi pelacur, dan menyebabkan para manula miskin terancam hidupnya.
Nampaknya krisis dunia memang akan merupakan siklus krisis jangka panjang. Krisis Asia menandai permulaan sebuah siklus krisis kelebihan produksi (cyclical overproduction) dalam perekonomian dunia, seperti yang terjadi pada tahun 1974-1975, pada tahun 1980-1983, pada tahun 1990-1993, pada tahun 1997-2000-an dan, sekarang, tanda-tandanya sudah mulai kelihatan (dengan adanya krisis finansial ekonomi Amerika). Dalam laporan World Economic outlook, IMF memperkirakan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil dunia pada tahun 1998 hanya akan meningkat 2% saja. Laporan tersebut juga memberikan catatan: “Pada tahun 1999, peluang-peluang beberapa perbaikan signifikan juga telah menurun, dan resiko kemerosotan yang lebih dalam, lebih luas dan lebih panjang telah meningkat.”
Krisis tersebut tidak saja sudah dan akan melanda Asia (termasuk Jepang dan Korea Selatan), tapi juga sudah dan akan melanda Amerika dan Eropa, yang ditandai dengan stagnasi relatif dalam pertumbuhan.
Kadar krisis tersebutlah yang akan menarik-ulur taring korporatokrasi. Dan, seperti biasanya, melalui IMF, akan diyakinkan bahwa obat bagi krisis tersebut adalah kebijakan-kebijakan mutakhir kapitalisme yang sesuai dengan hukum besinya—konsentrasi/sentralisasi tenaga produktif; akumulasi kapital; dan perluasan pasar—yakni: seraya menyodorkan paket penyelamatan (bailout) milyaran dollar, IMF menuntut perubahan kebijakan, berupa bahwa pemerintah akan menjamin hutang luar negeri sektor swasta; penurunan tingkat permintaan domestik melalui kebijakan suku bunga tinggi dan surplus anggaran pemerintah (termasuk petongan segala macam subsidi); serta “reformasi” struktural untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang menghalangi pasar “bebas” (termasuk privatisasi).
Kebangkrutan kapital Dunia Ketiga dapat membantu menaikan rata-rata keseluruhan tingkat keuntungan dan, di akhir perang dingin, imperialisme tak lagi merasakan adanya kebutuhan untuk memajang etalasi “macan” ekonomi sebagai kontra terhadap contoh-contoh ekonomi “komunis’ dari Cina dan Uni Soyet. Sebagi altenatifnya, hanya diberi sogokan (wortel) pembangunan terbatas; sedangkan untuk mempertahankan ketertiban kapitalis di negeri-negeri semi-kolonal, mereka lebih banyak tergantung pada kekerasan (tongkat)—seperti di Irak.
Namun demikian, bagi imperialisme, peningkatan penghisapan Dunia Ketiga tak cukup untuk mengatasi krisis. Sekarang ini, juga merupakan suatu periode persaingan sengit antar-imperialis, yang bentuknya berbeda-beda.
Suatu respon terhadap krisis kelebihan produksi adalah meningkatkan monopolisasi (baca: konsentrasi/sentralisasi tenaga produktif): melalui penghancuran atau menyerap para pesaing Dunia Ketiga, juga melalui pengambialihan atau merjer. Respon terhadap dua bentuk kapital—kapital produktif dan kapital finansial—adalah berkembangnya maniak merjer, yang skalanya dijadikan jaminan apakah mampu atau tidak keluar dari krisis.

Neoliberalisme, globalisasi krisis
Bahkan termasuk spekulator besar seperti George Soros pun merasa khawatir bahwa “globalisasi” dan kebijakan “pasar bebas” neoliberal yang sudah diberlakukan akan mengenyampingkan partisispasi rakyat pekerja, dan menggantikannya dengan hukum kapital yang akan membangkitkan “keresahan sosial yang massal”.; demikian pula majalah Inggris, Economist, yang jelas-jelas merupakan juru bicara paling gigih kapitalis laissez-faire (siapa kuat, dia menang) sejak majalah itu diterbitkan pada awal abad ke-19, bekomentar:
“…Dalam bidang ekonomi, dunia sudah ditata menjadi suatu kesatuan aktivitas. Dalam bidang politik, masih saja…terpecah-pecah. Tekanan antara kedua kecenderungan antitesis yang saling berlawanan tersebut telah menghasilkan runtunan pukulan, kejutan dan menghancurkan kehidupan sosial manusia.”
Economist sebenarnya merujuk pada krisis ekonomi yang lebih besar dari Great Depression, yang diglobalisasikan ke seluruh negeri-negeri kapitalis, pun bukan sederet krisis keuangan dan kejatuhan ekonomi seperti di Jepang (1989), di Mexico (1994), di Korea Selatan, di Thailand dan di Indonesia (1997), serta di Rusia (1998). Sebut saja salah satu contoh menyedihkan: kenaikan suku bunga di Amerika mendorong kenaikan suku bunga di seluruh dunia, merusak nilai kredit-bermanfaat negeri-negeri yang berhutang banyak. Negeri-negeri yang bermodal minim mencoba untuk mengekspor guna mencari jalan keluar dari krisis keuangannya, namun proteksionisme meningkat, beban hutang menjadi semakin berat, kegagalan demi kegagalan memaksa sistim keuangan internasional semakin menegang. Pemotongan upah dan rencana-rencana penghematan lainnya, yang nampaknya dianggap sebagai solusi yang paling “realistik” bagi setiap orang, justru semakin membuat kacau pesoalan. Ekonomi pinggiran, yang cadangan keuangannya tak memadai, menunda pembayaran-pembayarannya karena kondisi kapital yang kabur (capital flight) semakin buruk.
Dan menurut Castro:
Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan sebagai lampiran doktrin, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan pada tahap/masa neoliberal tidaklah lebih tinggi ketimbang yang dicapai oleh kebijakan pembangunan (negara) sebelumnya. Setelah PD II, Amerika Latin tak memiliki hutang sama sekali tapi, sekarang, berhutang sebesar 1 trilyun dollar. Itu merupakan hutang per kapita tertinggi di dunia. Kesenjangan pendapatan antara si kaya dengan si miskin juga terbesar di dunia. Saat ini, Amerika Latin, mengalamai saaat yang paling berat sepanjang sejarahnya karena semakin banyak orang miskin, pengangguran, dan yang kelaparan.
Sebenar-benarnya, di bawah kebijakan neoliberalisme, ekonomi dunia ternyata tidak mengalami pertumbuhan yang pesat; tapi, malahan lebih sering tidak stabil, lebih banyak spekulasi, peningkatan hutang luar negeri dan pertukaran/perdagangan yang tak setara. Demikian juga, terdapat kecenderungan lebih besar dan semakin seringnya krisis keuangan, sementara kemiskinan, ketidakadilan dan kesenjangan antara negeri-negeri Utara (yang makmur) dengan negei-negeri Selatan (yang dimiskinkan) malah makin melebar.
Dalam dua tahun terakhir ini, krisis, instabilitas, kekacauan dan ketidakpastian merupakan kalimat yang biasa digunakan untuk menjelaskan tatanan ekonomi dunia.
Deregulasi—yang melekat dalam neoliberalisme—dan liberalisasi nilai kapital telah memberikan dampak negatif sangat mendalam terhadap ekonomi dunia karena mengakibatkan ledakan spekulasi mata uang dan pasar-pasar yang terkena dampaknya, yang transaksi hariannya (sebagian besar spekulatif) bernilai tak kurang dari 3 trilyun dollar.
Setelah semua penjelasan di atas, atau setelah perluasan kapitalis (berserta krisisnya) berentang-dunia maka, pada tahap inilah, keniscayaan korporatokrasi mulai nampak:
Globalisasi neoliberal tak lain dan tak bukan adalah globalisasi (perluasan ke seluruh penjuru dunia) kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial neoliberal. Namun kebijakan-kebijakan tersebut tak ada urusannya dengan, atau bertujuan untuk, memperlemah kekuasaan penekan negara-bangsa terhadap rakyat pekerja, atau bertujuan memperlemah kekuasaan penekan negara-bangsa imperialis, khususunya negara-bangsa Amerika Serikat, terhadap penjuru duna lainnya. Malah sebaliknya, mereka bertujuan menjamin bahwa pasar penjuru dunia lainnya dibuka bagi barang-barang dan investasi mereka.
Tak cocok dengan doktrin “pasar bebas” liberal, pembuat kebijakan imperialis yang ada di Washington begitu mengerti bahwa kekuatan kekerasan yang terorganisir, sebagai esensi kekuasaan negara, merupakan alat yang sangat dibutuhkan (krusial) dalam kebijakan ekonomi, dan merupakan instrumen yang menentukan dalam memutusakan siapa yang akan jadi pemenang dan siapa yang akan menjadi pecundang dalam kompetisi global mengakumulasi kapital di antara geng pengeruk keuntungan yang saling berseteru. (Siapapun yang ragu akan hal tersebut, harus mengujinya dengan pengalaman ekonomi Irak sejak Perang Teluk.)
Berbeda dengan pendapat kaum terpelajar borjuis, intelektual-intelektual mantan-radikal dan liberal-kiri, yang berpendapat bahwa globalisasi neoliberal telah memperlemah kekuasaan negara-bangsa, ternyata kapital Amerika Serikat terus menerus memperkuat kekuasaan penekan negara-bangsanya dengan meningkatkan pembelanjaan untuk mesin-mesin militernya melebihi seluruh pembelanjaan militer enam negeri kuat yang ada sekarang ini.
Dan organisasi-organsisai penguasa imperialis, yang harus memaksakan kebijakan-kebijakannya kepada negeri-negeri kapitalis berkembang, seperti WB, IMF dan lainnya, sebenarnya bukanlah lembaga-lembaga yang anggotanya terdiri berbagai nasionalitas (supra-national). Lembaga-lembaga tersebut, sebenarnya, merupakan cerminan kekuasaan negara-bangsa imperialis (terutama) yang paling kuat, Amerika Serikat, dalam ekonomi global dan, langsung atau tak langsung, merupakan cerminan perusahaan-perusahaan besar transnasional, cerminan korporatokrasi (rahasia atau terbuka)—bisa saja disebut neo-korporatokrasi.

Kesimpulan
1. Bahwa korporatokrasi, pada tahap tertentu kapitalisme, merupakan salah satu (dari banyak) pranata (institution) keniscayaan dalam upaya borjuis menggunakan negara sebagai instrumen bagi kepentingan-kepentingannya karena, seperti kata Marx dan Engels, walaupun negara (borjuis) itu merupakan hasil bentukkan borjuis (kadang dengan memanipulasi rakyat/kelas pekerja pengikutnya), namun negara (borjuis) tak akan serta merta melengkapi mesin-mesinnya sesuai dengan keinginan hukum-hukum kapitalisme; kadang, terutama dalam sistim kapitalisme yang sudah lebih maju, negara merupakan cerminan persaingan borjuis, yang di dalamnya mereka saling berebut pengaruh (penaklukan) karena, biasanya (secara tradisi), borjuis lama (Rockefellers, Ford, Mellons, Morgans, DuPonts, Whitneys, Warbugs, Vanderbilts) sudah terlalu lama mendekam menguasai negara, menindas kesempatan borjuis baru dalam menggunakan negara sebagai instrumen kepentingan-kepentingannya; atau negara (borjuis) sedang dalam “ancaman” digulingkan oleh kaum revolusioner, atau sedang sekadar digerogoti oleh kaum sosial demokrat;
2. Selama mesin-mesin negara (beserta ideologinya) belum lengkap, belum sempurna bersesuaian dengan, mengakomodir, kepentingan-kepentingan borjuis (termasuk membantu mengatasi krisis-krisisnya), maka korporatokrasi dibutuhkan oleh borjuis dan, oleh karena itu, karakternya: transisional. Masalahnya: korporatokrasi tak akan bisa menyelesaikan krisis kapitalisme; korporatokrasi bukan pranata (institution) untuk menyelesaikan krisis tapi, (terutama) pada saat krisis, ia sekadar pranata (institution) untuk menyelamatkan individu dan/atau klik borjuis dengan cara (seperti telah aku jelaskan di atas): perampokan fiskal dan penindasan (bila ada perlawanan).

Rekomendasi:
Hanya ada dua jalan pilihan: pertama, selagi kita masih hidup, agar keseluruhan sistim kapitalisme tidak ambruk, turut membantu memperpanjang hidup kapitalisme dengan mendukung perampokan fiskal (bailout) seraya menuntut ceceran jaring pengaman sosial. Dan hasilnya bisa dinikmati selagi kita masih hidup; atau kedua, selagi kita masih hidup, menggulingkan sistim kapitalisme dengan mempercepat persatuan di kalangan kiri dan/dengan kalangan progresif guna mempercepat pembentukan/perluasan kekuatan alternatif rakyat mandiri, alternatif dan mandiri terhadap kekuatan-kekuatan politik lama dan reformis gadungan. Dan hasilnya belum tentu bisa dinikmati selagi kita masih hidup ; tak ada pilihan lain.

Daftar Acuan
Karl Marx, The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte , dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works, dalam 1 Jilid, London ,1970.
----------Theories of Surplus Value, bagian 1, Progress Publishers, Moscow, 1963.
Friedrich Engels, Asal Usul Keluarga, Milik Perseorangan dan Negara, dalam Lenin, Negara dan Revolusi, http://marxists.org/indonesia/-archive/lenin/1917/negara/state2.htm.
----------Socialism: Utopian and Scientific, dalam Karl Marx dan Friedrich Engels, Selected Works (dalam 3 Jilid), Jilid 3, Progress Publisher, Moscow, 1970-1977.
----------Catatan untuk Karl Marx, dalam Capital, Jilid 3, http://marxists.org/archive/-marx/works/-1894-c3/pref.htm.
Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto Partai Komunis”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, Neuron, revolt83@hotmail.com.
Hamza Alavi, The State in Postcolonial Societies: Pakistan and Bangladesh, dalam Imperialism and Revolution in South Asia, ed. Kathleen Gough dan Hari P. Sharma, Monthly Review Press, New York and London, 1973.
Richard Robison, Indonesia: The rise of capital, Allen & Unwin, Sydney, 1986.
John Omaha, Ph.D., Corporatocracy and the Iraqi War, http://www.sourcewatch.org/-index.php?title=Corporatocracy.
Hannah Holleman dan R. Jonna, The War for Control of the Periphery, Monthly Review, February, 2008.
John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Berrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 2004.
Charles Higham, Trading With The Enemy: The Nazi-American Money Plot 1933-1949, iUniverse, Inc., Lincoln, NE, 2007.
Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Corporatism.
Doug Lorimer, “Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, Neuron, revolt83@hotmail.com.
Allen Myeers, “Sebab-sebab Krisis Ekonomi Internasional”, Jurnal Kiri, Volume.3, Neuron, revolt83@hotmail.com.
John Bellamy Foster, The End of Rational Capitalism, Monthly Review, March, 2005.
----------Monopoly Capital and the New Globalization, Monthly Review, January, 2002.
----------The Financialization of Capitalism, Monthly Review, April, 2007.
----------The Financialization of Capital and the Crisis, Monthly Review,
April, 2008.
Editor Monthly Review, The New Face of Capitalism: Slow Growth, Excess Capital, and a Mountain of Debt, Monthly Review, April, 2002.
The World Bank, East Asia: The Road to Recovery, Washington, DC, 1998, hal. IX.
International Monetary Fund, World Economic Outlook: October 1998, Washington DC, 1998, hal.1.
Robert Brenner, From Neoliberalism to Depression?, Against the Current, November/Desember 1998.
Michal Kalecki, Essays in the Theory of Economic Fluctuations, Allen and Unwin, London, 1939.
Michael Klare, The New Geopolitics, Monthly Review, July–August, 2003.
John Hobson, Imperialism: A Study, Ann Arbor: University of Michigan Press, 1965.
Noam Chomsk, The Cold War and the Superpowers, Monthly Review, November, 198.
Neil Smith, American Empire: Roosevelt’s Geographer and the Prelude to Globalizaton, University of California Press, Berkeley, 2003.
James Burnham, The Struggle for the World, John Day, New York, 1947.
The New Geopolitics, Economist, July 31, 1999.
G. John Ikenberry, America’s Imperial Ambition, Foreign Affairs, Vol. 81, No. 5, September–October 2002.
William K. Tabb, Labor and the Imperialism of Finance, Monthly Review, October, 1999.
Minqi Li, After Neoliberalism: Empire, Social Democracy, or Socialism?, Monthly Review, January, 2004.
United Nations, Human Development Report, Oxford University Press, 2000 dan 2002.
James Petras and Henry Veltmeyer, Globalization Unmasked, Zed Books, London and New York, 2001.
Oskar Lange and Fred M. Taylor, On the Economic Theory of Socialism, McGraw-Hill, New York, 1964.
Fidel Castro Ruz, Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga, pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.
----------Arsitektur Keuangan Internasional, Apendiks pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar