Powered By Blogger

Selasa, 21 Juni 2011

“REALITAS KETERTINDASAN PEREMPUAN”


Oleh     :   “ Fanz Jelita Merah “



                Sangat banyak pertanyaan yang timbul, ketika kita terlahir dengan jenis kelamin sebagai perempuan, yang sejak lahir sudah di lilit oleh segombrok aturan-aturan dan citra negative yang terbentuk tentang sosok perempuan. Menakutkan bukan ? malangnya bayi yang terlahir ketika menjadi seorang perempuan. Bahkan ketika seorang perempuan menjadi dewasa dia harus mulai menyesuaikan dengan aturan-aturan yang sangat tidak masuk akal, ketika tubuhnya sendiri menjadi bahan pembicaraan khalayak ramai dan ketika negara pun ikut-ikutan mengintervensi tubuhnya, belum lagi cap negativ yang menghampiri sosok perempuan. Malang betul yang kemudian terlahir menjadi perempuan ini.

Maka, yang patut di pertanyakan kini adalah,
Mengapa perempuan di anggap sebagai manusia kelas dua ?
Mengapa perempuan tak memiliki kebebasan atas dirinya ?
Mengapa perempuan selalu menjadi komoditas ?
Mengapa perempuan selalu di hadapkan pada pilihan untuk menjadi cantik atau berjuang ?
Siapa dalangnya ?
Apa sebabnya?



Ya,,, itulah sedikitnya pertanyaan yang harus kita jawab di era modern ini.

Sejarah kita telah mencatat bahwa kaum perempuan memiliki peran penting dalam produksi dan reproduksi. Bahkan sejarah pun mencatat tentang adanya sebuah masa kejayaan kaum perempuan, di mana perempuan menjadi “sang penyelamat”, yaitu saat perempuan dengan keterampilannya dapat mengolah biji-bijian menjadi suatu tanaman yang dapat di manfaatkan dan di jadikan satu2nya sumber penghidupan bagi komunitasnya saat itu (di jaman batu).

Proses perkembangan teknologi pada masa itu merubah proses pengihidupan yang tadinya dari komunal menjadi individual. Yang kemudian hasil surplus daripada suatu produksi menjadi  milik individual / perorangan, sehingga muncul dan di kenallah dengan istilah “kepemilikan pribadi”. Keadaan ini yang menjadi salah satu sebab, bergesernya peran perempuan dari lapangan produksi. Kemudian dengan beralihnya mata pencaharian mereka dari berburu menjadi bertani / pertanian /bercocok tanam, mengahruskan mereka melakukan perluasan lahan (ekstensifikasi lahan) dan membutuhkan SDM yang banyak. Sehingga sebagai akibat logis dari keadaan ini, perempuan secara perlahan tersingkir ke wilayah domestik dan terserap hanya untuk kegiatan-kegiatan reproduktif. Kemajuan teknologi pada masa itu telah jelas memundurkan perempuan yang mempunyai kelebihan di bidang reproduksi, hanya untuk mencetak SDM-SDM. Serta dengan di temukannya mata bajak (luku) , semakin memukul perempuan ke dalam kungkungan domestik. Terlebih lagi karna bajak biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan ternak, di mana pengendalian terhadap ternak memang merupakan wilayah ketrampilan kaum laki-laki.

Tergesernya kaum perempuan ini menjadikan berkembangnya suatu konsep kepemilikan pribadi, yang kemudian dalam berjalannya waktu, adanya suatu pengambil alihan semua ranah menjadi milik laki-laki. Mulai dari hasil produksi, pengambil keputusan,dll jatuh ketangan laki-laki. Peran laki-laki menjadi lebih dominan di semua ruang daripada perempuan (patriarki). Inilah yang menjadi sejarah perempuan menjadi warga kelas dua.

Tak hanya berhenti di situ, seiring dengan berkembangnya waktu dan zaman, bahkan di era modern serba canggih ini, perempuan tak juga mendapatkan kejayaannya kembali. Yang ada malah semakin tertindas dan semakin tersingkirkan (termarginal kan).

Sejarah telah membenarkan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam proses produksi dan reproduksi, namun dalam perkembangannya sang penyelamat ini, malah menjadi sosok yang paling di singkirkan dan didiskriminasi dari lapangan produksi bahkan tak mengenal dan mendapatkan hak-hak reproduksinya sendiri. Bahkan dalam era modern ini, ketertindasan perempuan telah beragam macamnya, dari mulai domestifikasi, poligami, pelecehan seksual, kekerasan seksual, upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki, stereotype negativ terhadap tubuh perempuan (sampai dengan di buatkan UU pornografi dan pornoaksi, perda2 syariah,dll), perempuan tak mendapatkan hak2 cuti dalam pekerjaan (cuti haid, cuti hamil, cuti melahirkan), sampai pada PHK sepihak dari perusahaan dengan alasan reproduksi, dan masih segudang lagi penindasan2 pada sosok perempuan.

Asumsi-asumsi tentang kedudukan dan derajat kaum perempuan berada di bawah laki-laki, sudah bercokol ribuan tahun, sehingga tidak sedikit perempuan-perempuan yang menginternalisasi ketertindasan serta aturan-aturan yang menimpanya menjadi suatu “takdir” mutlak jika dilahirkan sebagai sosok perempuan. Inilah yang di sebut kesadaran palsu, sebuah penyakit yang harus di tuntaskan sejak dini agar tidak kronis. Tapi berbagai bukti ilmiah yang dapat di pertanggung jawabkan telah di temukan seiring dengan kemajuan teknologi, bahwa ketidaksetaraan gender semata-mata bukan takdir dari kaum perempuan semata, dan berbagai bukti menyatakan bahwa dalam awal perkembangan masyarakat, ada sebuah fase dimana kedudukan antara perempuan dan laki-laki itu setara dan seimbang, serta adanya fase kejayaan perempuan. Ketidak setaraan gender terbentuk daripada sebuah konstruksi sebuah budaya dan tatanan pada masyarakat, yang kemuadian menyingkirkan perempuan dari wilayah produksi. Sebuah konstruksi itu tidak mutlak, dan itu yang dapat kita ubah, merubah pola pikir masyarakat yang sudah terbius budaya patriarki selama berabad-abad serta menanamkan kembali kesadaran tentang kesetaraan.

Serta kemajuan tenaga produktif (pengetahuan, skill, SDM, dan teknologi ) dapat memeberikan landasan serta jalan bagi kembalinya perempuan ke dalam wilayah produksi.

Tapi yang menjadi pertanyaan kini, adalah mengapa sangat sulit untuk mengembalikan posisi perempuan kepada kehakikiannya?

Di negri kita sendiri, Indonesia masih menjadi negara miskin. Itu semua karna rendahnya tenaga produktif, serta alat2 produksi yang hanya di miliki oleh segelintir orang dan oleh kaum pemodal. Sedangkan pemerintah sendiri tak pernah serius untuk meningkatkan kualitas tenaga produktif di Indonesia sendiri, tak sungguh-sungguh membuat rakyatnya menjadi pintar - terutama perempuan. Tenaga produktif merupakan penggabungan  dari sumber daya manusia yang berkapasitas /  cakap untuk menghasilkan barang-barang materil (tenaga kerja) dan alat-alat produksi. Menurut Marx, tenaga produktif bisa merubah atau menggerakkan revolusi (perubahan). Dan itu menjadi satu gambaran bahwa tenaga produktif yang maju dapat berperan penting dalam suatu perubahan.

Tapi sayangnya di negara kita ini, dalam sektor pendidikan saja, masih banyak rakyat Indonesia yang belum bisa menganyam pendidikan, serta tingginya angka buta huruf. Padalah pendidikan adalah salah satu syarat guna menopang kemajuan kualitas tenaga produktif. Memang perempuan menjadi korban kemiskinan yang paling besar. Menurut data PBB , dari sepertiga penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 70% nya adalah perempuan. Dan demikian juga di Indonesia, dari jumlah penduduk miskin di Indonesia pada data statistik tahun 2010, yang mencapai 32,53 juta jiwa (14,15%), dan 70% nya dari penduduk miskin adalah perempuan. Banyak sekali sebab yang menjadikan perempuan menjadi miskin. Posisi tawar yang lemah dalam masyarakat, kultur yang represive, miskin akibat bencana dan konflik, diskriminasi ruang publik dan domestik adalah sedikitnya sebab yang menjadikan perempuan menjadi miskin dan buta pendidikan.  Bahkan tidak ada kepedulian dan tindakan dari pemerintah untuk merubah keterpurukan kaum perempuan itu sendiri. Yang ada pemerintah kita semakin memukul mundur gerakan perempuan dengan di buatkannya undang-undang yang semakin memojokkan perempuan. Maka tidaklah heran jika Human Development Report menunjukkan bahwa  pembangunan kesetaraan gender di Indonesia ini amat rendah, dan menduduki peringkat ke 90 di dunia.  Padahal perempuan merupakan salah satu elemen masyarakat yang amat penting, namun kenyataannya mahluk yang bernama perempuan ini menjadi sangat tertinggal dalam berbagai bidang dalam kehidupan.

Di bidang pendidikan, sebanyak 11,56% perempuan belum menganyam pendidikan sama sekali, sedangkan laki-laki yang belum mengenyam pendidikan hanya sekitar 5,43%. Dari perbandingan data statistik itu dapat kita lihat dan tarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan, terdapat selisih yang cukup banyak bahkan tidak setengahnya. Ini yang patut menjadi bahan refleksi kita. Sedangkan jumlah penyandang buta huruf mencapai 8,7 juta jiwa dan 64%nya adalah perempuan. Sedangkan di bidang kesehatan tentang AKI  (angka kematian ibu melahirkan) dari 307/100.000 kelahiran hidup ke 420/100.000. kemudian dalam bidang ekonomi, tingkat partisipasi angkatang kerja (TPAK) laki-laki mencapai 86,5% sedangkan perempuan hanya 50,2%. Dan dalam ranah birokrasi, dari 3.741.495 orang, hanya 1.550.024 (41,43%) nya adalah perempuan.

Dari data statistik tadi dapat kita simpulkan, betapa jauh perbedaan dan kesenjangannya. Betapa perempuan hanya mendapatkan ruang kecil di semua bidang, bagaimana sempitnya ruang gerak perempuan untuk berekspresi dalam dunia luar. Serta dalam jabatan publik lainnya, jabatan untuk kuota perempuan masih sangat sedikit, rendah dan terbatas.

Dalam kancah perpolitikkan di Indonesia ini, keterwakilan perempuan di DPR sebesar 101 anggota DPR adalah perempuan, atau sekitar 18,04% dari 560 anggota DPR periode 2009-2014. Adapun keterwakilan perempuan di DPD, dari total 132 calon anggota DPD, sebesar 17,48% (36 orang) adalah perempuan. Meskipun data itu mengalami peningkatan, tapi angka tersebut belumlah memenuhi kuota 30% perempuan dalam semua jabatan publik, seperti apa yang di targetkan.

Itu terjadi bukan karna tak ada perempuan yang mau berpartisipasi dalam dunia perpolitikkan atau untk mengurusi negara. Tapi itu semua di sebabkan oleh budaya dan praktek politik di negri ini yang belum memberikan kesempatan penuh yang memadai bagi perempuan untuk terjun dan terlibat dalam dunia perpolitikkan.

Belum lagi tentang seabrek kekerasan yang menimpa perempuan, baik kekerasan fisik, kekerasan psikologi, kekerasan ekonomi, dan kekerasan seksual yang banyak menimpa perempuan. Potret nyata kehidupan manusia di dunia ini terutama Indonesia masih sarat dengan kekerasan dan berbagai pelanggran hak dan kejahatan. Dalam data terakhir saja yang di himpun dari komnas perempuan, angka kekerasan terhadap perempuan sangat tinggi, dari 25.522 kasus (2007) menjadi 54.425 kasus (2008) dan naik lagi menjadi 143.586 kasus (2009-2010). Angka ini meningkat sebanyak 26,3% di bandingkan tahu sebelumnya. Dan dari kasus-kasus tersebut, sebanyak 82%nya adalah kasus KDRT. Kekerasan dalam ranah keluarga. Ketergantungan perempuan (sang istri) yang notabene di kungkung dalam ranah domestik dan tak memperoleh kebebasan untuk mencari nafkah dan untuk berekspresi di ranah publik, menjadikannya keterikatan secara ekonomi dengan sang suami, yang akhirnya sang suami menjadi bak seorang raja karna dapat menghidupi, dan yang membuatnya mempunyai kesewenang-wenangan mutlak dalam lingkup keluarga ini. Sehingga menjadi leluasa memperlakukan sang istri (perempuan) layaknya boneka. “ironis bukan?”

Kemiskinan yang terjadi serta berbagai diskriminasi yang terjadi terhadap permepuan tak pernah di gubris oleh pemerintah kita. Sudah tidak bis kita hitung, berapa nyawa melayang akibat kelaparan? Dan kebanyakan di antra adalh perempuan. Sungguh miris di negara kita yang telah merdeka sekian tahun, tapi kondisi rakyat miskin terutama perempuan tak jua menemukan titik pencerahan. Harus berapa nyawa lagi yang hilang? Dan menyusul kawan-kawan kita dan perempuan-perempuan lain yang gila akibat kemiskinan yang meliputinya? Dan seperti mereka yang mati karna tak mampu mengobati penyakitnya? Seperti kasus, “ khoirul Umi Latifa (25), selasa (10/8) tewas membakar diri karna tak kuat menanggung beban berat keluarganya. Bukan hanya Umi Latifa saja korban dari jahatnya pemerintahan kita yang berwatak neolib dan patriarki, tapi juga di alami oleh, Kokoy (43) mencoba menabrakan dirinya dengan anaknya terhadap kendaraan yang lewat di jalan raya karna tak kuat menghidupi anaknya yang sakit parah dan di himpit oleh kemiskinan.” (kompas)

Itu hanya beberapa kecil kasus yang menimpa rakyat Indonesia yang sebagian besar di alami oleh perempuan yang mengalami beban ganda. Belum lagi penggusuran-penggusuran rumah-rumah miskin, yang bagi mereka adalh istana kerajaan. Tapi bagi si pemodal adalh gubuk-gubuk sampah. Mereka di usir dengan di takut-takuti oleh senjata dengan membawa dalih hukum, istana mereka di rusak dengan mobil penggaruk yang najis. Menjadikan mereka terlantar.

Inikah yang di namakan “REPUBLIK kerakyatan?” ketika yang berkuasa tak sama sekali mencintai rakyatnya?

Penggusuran, PHK sepihak, penutupan lokalisasi,dll. Semua di lakukan oleh pemerintah kita, tanpa memberikan solusi dan lapangan pekerjaan baru bagi mereka. Dan menjadikan mereka pengangguran baru dan semakin memiskinkan mereka. Sehingga menurut data yang tercatat, angka pengangguran naik menjadi 40.000.000 jiwa.

Tak banyak yang di lakukan oleh pemerintah saat ini. Pemerintahan di Indonesia adalah pemerintahan bewatak patriarki dan menganut sistem neoliberalisme yang hanya menguntungkan kaum pemodal, dengan menginjak rakyat dan mengorbankan rakyat.

Pemikiran ekonomi liberal terkenal di Eropa, ketika Adam Smith yang berasal dari Skotlandia, menerbitkan sebuah buku berjudul “The Wealth Of Nations”. Dia melakukan advokasi terhadap penghapusan intervensi pemerintah dalam perekonomian. Tidak ada pembatasan dalam manufaktur, tidak ada sekat-sekat dalm perdagangan, tidak ada tarif,dll. Menurutnya perdagangan bebas adalah cara terbaik dalam perekonomian suatu negara agar lebih berkembang dan maju. Ide-ide tersebut “liberal” dalam arti lain tidak adanya kontrol. Penerapan individualisme ini mendorong usaha-usaha “bebas”, kompetisi “bebas”, yang kemudian membebaskan dan memudahkan bagi kapitalis untuk mencetak keuntungan sebesar-besarnya. Adanya krisis kapitalisme selama 25 tahun terakhir dengan penyusutan tingkat profitnya, menginspirasikan para elite korporasi unutk mneghidupkan kembali liberalisme. Dan inilah yang menjadikannya di sebut “neo” (baru). Pokok-pokok  pemikiran neoliberalisme adalh “ kekuasaan pasar, memangkas pembelanjaan publik unutk layanan sosial, deregulasi, privatisasi, menghapus konsep barang publik “komunitas”.

Di Amerika, sistem neoliberalisme ini telah menghancurkan program-program kesejahteraan, dan menyerang hak-hak kaum buruh, memangkas program-program sosial. Pihak-pihak yang di untungkan oleh sistem neolib hanya unutk segelintir manusia saja (kepentingan pribadi), sehingga membawa penderitaan bagi rakyat miskin. Ini pulalah yang di anut di negara kita Indonesia, yaitu sistem ekonomi neolib yang hanya menguntungkan kaum pemodal saja dengan cara menghisap mayoritas rakyat.

Dan itu pulalah yang sedang di jalankan oleh pemerintahan kita. Yang menganut sistem ekonomi neo-liberal. Menindas dan mengorbankan rakyatnya untuk kepentingan dan keuntungan segelintir orang.

Rakyatlah yang paling di sengsarakan dengan sistem dan kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah yang menganut sistem neolib ini. Salah satunya adalah kebijakan dibukanya pasar bebas, yang dampak nya sangat berpengaruh bagi dunia perburuhan di Indonesia. Buruh-buruh lah yang paling merasakan dampak dari sistem yang jahat dan tak sayang rakyat ini.

Kaum buruh semakin di sengsarakan oleh kaum pemodal (pengusaha) dengan praktek penghisapannya yang di legitimasi oleh penguasa (pemerintahan) dengan mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan yang semakin menyengsarakan kaum buruh. Sedangkan di satu sisi hak-hak buruh yang tertuang dalam Undang-undang perburuhan sudah tak lagi di indahkan, seperti cuti menstruasi, cuti hamil, cuti melahirkan, upah minimum, jaminan kesehatan, dll. Belum lagi tentang masalah PHK sepihak dari perusahaan kepada buruh-buruh perempuan hanya karna alasan reproduksi (hamil, sehingga di anggap tak produktif dan menghambat), tentang pembedaan upah perempuan dan laki-laki, tentang sistem kerja kontrak (out sourching), dll yang semakin menyengsarakan buruh-buruh. Serta masih banyaknya buruh2 migran kita yang datang kembali ke Indonesia hanya tinggal jasad atau bahkan hanya tinggal nama. Itu membuktikan bahwa pemerintahan kita sangat lamban dalam melindungi hak-hak setiap rakyatnya. Serta masih maraknya pelarangan-pelarangan berserikat dalam perusahaan2, yang mencerminkan tertutupnya ruang demokrasi dalam lingkup perburuhan (perusahaan).

Kesejahteraan rakyat kini hanya tinggal sebuah angan dan mimpi belaka, sejak naik dan berkuasanya rezim SBY selama 2 periode masa jabatan. Sungguh, tak ada sesuatu loncatan besar bagi kemajuan bangsa, dan bagi rakyat Indonesia. naik dan melambungnya harga2 bahan pokok, pendidikan yang mahal, biaya kesehatan yang mahal,dll pun mencerminkan bahwa pemerintahan ini gagal dan tidak menyayangi rakyatnya. Seharusnya dengan kekayaan alam di Indonesia mampu membuat rakyatnya sejahtera, jika kekayaan alam di Indonesia ini tidak di gadaikan dan di monopoli oleh kapitalis asing yang malah membuat Indonesia semakin miskin dan kehilangan kontrol atas alamnya sendiri.

Akibatnya banyaknya pengangguran di sana-sini, dan terlihat dari data pengangguran yang meningkat, mencapai 40 juta jiwa angka pengangguran dari total penduduk, dan 88%nya adalah perempuan.

Di samping itu masalah utama penurunan produktivitas tenaga kerja Indonesia adalah di sebabkan oleh sulitnya akses pendidikan bagi rakyat Indonesia, yang menjadikan rakyatnya bodoh, dan mudah di manfaatkan oleh kaum penguasa unutk menggajinya dengan murah.

Dari sekian banyak nya berbagai kebijakan pemerintahan, yang paling terkena imbas dan dampak buruknya adlah PEREMPUAN ! perempuanlah yang di korbankan unutk kepentingan  para elite-elite borjuasi, perempuan harus menjadi bodoh karna minimnya akses pendidikan untknya, perempuan lah yang banyak sakit bahkan kehilangan nyawanya akibat biaya kesehatan yang mahal dan tertutup untuk orang miskin, perempuan jugalah yang selalu di nomor duakan dalam semua aspek, perempuan juga yang miskin dan lemah secara politik (tak mendapatkan akses suara),ekonomi, siosial, dll. Perempuanlah yang banyak menanggung beban akibat kebijakan-kebijakan pemerintahan yang tidak sama sekali pro terhadap perempuan dan rakyat miskin. Sejak 13 tahun kejatuhan ORBA, ruang demokrasi yang semulanya terbuka sedikit-demi sedikit dengan tumbangnya rezim diktator, kini semenjak naiknya rezim SBY selama 2 periode, semakin menutup kembali ruang-ruang demokrasi bagi rakyat dan perempuan, semakin menutup impian tentang kesejahteraan dan sosialisme. Perempuan kembali di pukul mundur, kembali di bungkam. Membuatkan berbagai kebijakan dan Undang-undang khusus unutk perempuan, untuk semakin memenjarakan perempuan.

            Dari sekian kekejaman rezim SBY inilah, seharusnya yang dapat mendorong kita perempuan-perempuan Indonesia unutk bangkit melawan kekejaman tirani ini, kita sendiri lah yang harus menjadi pelopor untuk memerdekakan diri kita sendiri. Sudah saat nya perempuan ini kembali memperoleh jalan kebebasan dan kemerdekaan atas hak-haknya. Hak yang selama ini di rampas oleh mereka-mereka yang berkuasa dan berduit. Mereka yang hanya mmentingkan perut mereka dan kantong-kantong mereka, dgn mengorbankan kita (perempuan). Sudah saat nya kita bersama membangun gerakan revolusioner yang pro terhadap perempuan, gerakan yang pro terhadap rakyat miskin. Sudah saatnya kita bangkit dari ketertindasan kita. Melepaskan segenap belenggu hegemoni patriarki yang selama ini memenjarakan perempuan dalam berbagai ketertindasan. Yang harus di lakukan kini adalah membangun sebuah organsisasi sebagai wadah untuk penyatuan kekuatan-kekuatan rakyat dan kekuatan perempuan, dan bersama dengan semua elemen masyarakat pro-demokrasi untuk bersatu melawan kondisi yang semakin menindas rakyat ini.

            Bangun organisasi prodemokrasi yang peduli terhadap perempuan dan rakyat miskin, bersama bersatu melawan rezim yang tidak sayang rakyat ini. Serta Gulingkan rezim SBY-Budiono.

            Perempuan  bersatulah, berjuanglah untuk suatu kemerdekaan..



Salam setara,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar