Buruh, Bekerja tapi Tetap Miskin
Sebanyak 52,1 juta orang atau hampir 55% dari orang yang bekerja di Indonesia, hidup dalam kemiskinan. Pendapatan mereka tidak lebih dari US$2 per hari. Ikhtiar yang mereka lakukan tidak berbuah manis. Bekerja, tapi tetap miskin.
Data itu mengacu ke perhitungan yang dilakukan oleh Organisasi Perburuhan International (ILO) tahun 2008. Organisasi itu memperkirakan jumlah pekerja miskin di Indonesia mencapai 52,1 juta orang pada 2006, hanya turun tipis dibandingkan dengan 52,8 juta orang pada 2002. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini tercatat sekitar 102 juta pekerja (2008).
Apabila kriteria orang miskin diubah menjadi orang yang berpendapatan di bawah US$1 atau Rp9.000 per hari, jumlah pekerja miskin memang turun tajam. Dengan kriteria miskin US$1 itu, jumlah pekerja miskin di Indonesia memang hanya 7,9 juta atau 8,2% dari total jumlah pekerja. Kriteria inilah yang dipakai negara untuk mengukur orang miskin (padahal tak ada satu manusiapun bisa hidup dengan Rp. 9000 per hari).
Kee Beom Kim, Labour Economist ILO, mengumpamakan dari 100 orang usia kerja (berusia 15 tahun ke atas) di Indonesia, delapan orang berpenghasilan di bawah US$1 per hari dan 55 orang memiliki pendapatan kurang dari US$2 per hari.
ILO mencatat produktivitas pekerja di Indonesia tumbuh rata-rata 4,3% per tahun dalam periode 2000 hingga 2007. Produktivitas pekerja paling tinggi terdapat pada sektor industri manufaktur (pengolahan), sedangkan yang paling rendah di sektor pertanian. Rata-rata produktivitas pekerja di sektor industri dalam sebulan sama dengan rata-rata nilai produktivitas yang dihasilkan pekerja di sektor pertanian dalam tujuh bulan.
ILO juga mencatat dalam kurun waktu 2003 hingga 2007, rata-rata upah nominal pekerja di Indonesia memang mengalami kenaikan. Namun, upah riil pekerja dalam empat tahun terakhir itu stagnan. Daya beli pekerja terus tergerus inflasi yang membuat biaya hidup merangkak naik. Dari sekitar 35 juta pekerja di sektor formal saja, lebih dari 80% harus nombok. Gaji mereka tidak mencukupi untuk bisa membiayai konsumsi inti yang layak yang diperkirakan minimal Rp3,5 juta per bulan